Esok paginya enam pemuda itu sudah bangun dan sekarang sedang berdiri didepan pintu kamar mandi sambil melampirkan handuk masing-masing di pundak. Pintu kamar mandi yang tertutup rapat juga terdengar suara kecipak air layaknya didalam ada yang sedang mandi. Jadi mereka mau tidak mau harus menunggu sosok itu selesai dan pintu terbuka sendiri. Selalu begini, kadang jahil kadang tidak. Dari sini mereka memahami mengapa kost se-mewah ini dihargai murah dan tidak ada yang betah. Karena kost ini terbilang angker. Itu yang mereka ber-enam simpulkan.
"Gimana nih woi? Gue ada kuliah pagi, masa iya kita berdiri disini terus kayak orang bodoh." celetuk Jean memecah keheningan.
"Lo kira lo doang yang ada kuliah pagi? Gue juga. Kita harus gimana nih sekarang? Detik jam selalu berputar, kalo kita tungguin nih pintu sampe kebuka sendiri kita bisa-bisa telat." timpal Satya yang sudah geram. Rasanya menyesal sekali pindah kost kesini.
"Ya terus? Kita dobrak nih pintu gitu?" tanya Jendra lalu meraup wajahnya dengan kasar.
"Ya janganlah bego. Lo mau ntar suruh ganti rugi kalo pintunya rusak?" tanya Harsa pada Jendra. "kita disini cuman nge-kost nggak boleh macem-macem disini,"
"Ya tapi Har kita udah mau telat." desis Jean seraya melipat kedua tangannya didepan dada.
"Yaudah, sih, tungguin aja. Bener kata Harsa, kita nggak boleh macem-macem disini." tukas Andra yang sejak tadi diam. "Lo tau kan ini kost nggak beres, kalo kita macem-macem bisa aja hal buruk nimpa sama kita." lanjut Andra dengan suara pelan.
Mereka langsung diam. Benar apa yang dikatakan oleh Andra tadi. Kini tatapan mereka berlima berpusat pada Gavin yang sejak tadi diam dengan wajah murung, bahkan yang biasanya Gavin selalu rese setiap pagi justru sekarang cowok itu hanya diam saja tidak ikut bercengkrama.
"Vin, lo oke?" tanya Jendra yang kebetulan berdiri disamping Gavin.
Gavin sedikit tersentak kaget saat tangan Jendra menjamah bahunya. Cowok itu menatap teman-temannya lalu mengangguk kaku. "Gu-gue oke kok," balasnya sambil tersenyum tipis.
Satya mengernyit dahinya bingung, pasalnya sejak malam tadi saat Gavin selesai mengantarnya ke kamar mandi, Gavin langsung berubah menjadi pendiam. "Nggak, Vin. Lo kayaknya nggak oke." cetus Satya kini atensi mereka terlihkan pada cowok berambut coklat hazel itu.
"Maksud lo?" tanya Harsa bingung.
"Semalam Gavin anterin gue ke kamar mandi karena gue yang kebelet pengin buang air kecil. Gue suruh dia tunggu depan pintu. Tapi, setelah gue keluar kamar mandi, nih anak emang udah berubah agak aneh. Dia narik tangan gue dan kita sama-sama lari. Pas sampe kamar gue tanya dia kenapa, Gavin cuman diem malah lanjut tidur." jelas Satya tentang peristiwa semalam.
Kini mereka kembali menatap kearah Gavin yang hanya diam saja sambil memainkan kuku-kuku ibu jarinya.
"Jujur lo kenapa Gavin?" tanya Andra serius sampai alisnya menyatu tajam.
"Semalem gue... gue liat sosok yang kayak Jean ceritain," ungkap Gavin membuat kelima cowok itu dibuat tertegun dan menelan ludah susah payah. "Yang paling serem, dia lambai-in tangannya kearah gue seolah nyuruh gue buat ikut sama dia. Gue liat dia dibilik kamar nomor tujuh. Dugaan gue selama ini emang bener, kalo kamar nomor tujuh emang ada penghuninya."
Ceklek
Mereka kompak menoleh dan pintu kamar mandi sudah terbuka lebar.
*
Rasanya mereka berenam ingin cepat-cepat meninggalkan kost ini. Mungkin inilah alasan yang membuat para penghuni kost yang dulu tinggal disini tidak betah. Kost ini memang aneh ditambah disudut kamarnya terdapat kamar kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑹𝑶𝑶𝑴 𝑵𝑼𝑴𝑩𝑬𝑹 𝑺𝑬𝑽𝑬𝑵
HorrorTempatnya bagus, mewah, bersih, harganya juga murah, tapi....agak aneh. Awalnya biasa-biasa saja, tapi makin kesini mereka berenam selalu mengalami hal-hal ganjil. Mereka berenam kira pindah kost akan membuat suasana menjadi tenang dan damai. Namun...