CHAPTER SEPULUH

9 3 9
                                    

Pukul 3 dini hari suasana kost dibuat heboh oleh teriakan Jean. Dari mulai Harsa, Andra, Jendra lalu Gavin dan Satya segera keluar kamar dan menghampiri Jean yang terduduk lemas disamping ranjangnya. Jean menekuk kakinya, membenamkan kepalanya diantara lipatan tangan seraya terdengar suara isak tangis cowok itu.

Mereka berlima segera menghampiri Jean, berjongkok dihadapan cowok itu yang masih membenamkan wajahnya di lipatan tangan.

"Je," panggil Harsa seraya menepuk pelan bahu Jean. Jean mengangkat wajahnya dan cepat-cepat mengusap sisa-sisa air mata, tak lupa juga menarik ingus.

Gavin dan Satya kompak menahan tawa karena melihat Jean yang habis menangis. "Lo nangis Je?" ini bukan pertanyaan melainkan ejekan yang Satya berikan untuk Jean.

"Gue? Nangis? Hahaha. Iya."

Andra menukik alisnya, ini bukan situasi untuk becanda. Cowok dengan rahang tegas itu menatap Jean serius. "Kenapa lo nangis?" tanya Andra dan detik itu juga Jean kembali merubah raut wajahnya menjadi ketakutan.

Bayangan sosok yang tadi memegangi kakinya sangat teringat jelas dipikiran Jean. Mengingat wajah sosok itu yang memiliki tiga mata, gigi bertaring penuh darah, serta seringaian menyeramkan seolah ingin memangsa Jean. Untungnya, saat ia berteriak, sosok itu menghilang begitu saja membuat Jean bisa bernafas lega.

"Gue mau cepet-cepet pergi dari sini." kata Jean dengan bergetar. Pelipisnya masih terdapat sisa-sisa keringat yang bercucur disana.

"Sabar, besok pagi kita pergi dari sini," kata Harsa yang masih menenangkan Jean.

Jean menggeleng cepat. "Nggak, gue maunya pergi sekarang. Disini....disini udah nggak aman."

"Ini kost emang dari awal udah gak aman." sahut Jendra.

"Bukan itu, ada yang lebih gak aman."

Mereka berlima kompak mengernyitkan dahi, sama-sama bingung. "Maksud lo?" tanya Gavin mewakili kebingungan teman-temannya.

Jean beralih menatap lemari kayu yang semula menjadi tempat baju-bajunya diletakan. Telunjuk cowok itu terangkat, menunjuk kearah lemari kayu dengan cat coklat pekat. "Lemari itu.....ada hantunya."

"HAH?"

Jean sudah menduga kalau teman-temannya akan terkejut mengenai hal ini.

"Becanda lo, yakali dalem lemari jadi tempat tinggal hantu." sangkal Satya seraya terkekeh kecil, bukan karena lucu melainkan aneh saja rasanya.

"Gue serius. Siapa yang bilang gue becanda?" tanya Jean dengan nada bicara naik satu oktaf.

"Ya, cuma gue nggak percaya aja kalo ada hantu dilemari lo ini," kata Satya.

"Ciri-cirinya?" tanya Jendra yang sejak tadi hanya diam saja, menyimak.

"Mukannya kayak nenek-nenek, matanya ada tiga yang satu di dahi. Semua giginya bertaring dan berdarah-darah seolah sosok itu habis makan mangsa. Kuku jarinya runcing dan panjang banget, warnanya hitam pekat." jelas Jean mengenai sosok menyeramkan tadi.

Harsa mengernyitkan dahinya hingga tercetak jelas garis-garis disana. "Makin aneh aja, gue semalem juga diganggu." ucap Harsa mengundang atensi teman-temannya. Mereka berlima kompak menatap Harsa yang tengah mengelus dagunya dengan ibu jari. Dahinya masih mengernyit hingga kedua alisnya nyaris bersatu.

"Diganggu?" beo Gavin.

"Bukan cuma Harsa sama Jean doang kayaknya, tapi gue sama Andra juga ada yang ganggu." selak Jendra. Tadi Andra sempat menceritakan semua kejadian yang dialaminya.

Lalu mereka saling menceritakan keanehan tadi pada Satya dan Gavin yang memang mereka berdua tidak merasakan gangguan seperti keempatnya.

*

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 12, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝑹𝑶𝑶𝑴 𝑵𝑼𝑴𝑩𝑬𝑹 𝑺𝑬𝑽𝑬𝑵Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang