03. Ko-kondom?

0 1 0
                                    

Dihari yang bunda janjikan padaku sebelumnya, aku menolak karena sibuk pada komikku yang baru saja terbit. Seminggu setelahnya baru aku setuju dengan hari dan waktu yang bunda dijanjikan. Kami berjanji bertemu di restoran yang biasa aku dan Bunda datangi. Kami sama sekali tidak menunggu seperti biasanya malah aku dan bunda yang ditunggu oleh mereka. Aku memberi salam dan senyuman. Duduk disamping bunda dan melepaskan tas dari bahuku.

"Kenalin nih Ka, anak aku namanya Kerin," ucap bunda memperkenalkanku tanpa izin. Aku hanya tersenyum ketika tante Eka mentapku.

"Ini anak yang aku bicarain, Ta. Kakaknya udah nikah, cuman dia doang yang belum nikah. Biasa, sibuk kerja."

"Hadeh. Anak-anak zaman sekarang emang begitu, Ka. Terlalu sibuk nyari uang."

Gelak tawa mereka menghiburku. Aku dan ....

Cowok ini hanya diam.

Dia tersenyum seperlunya saja saat menanggapi ucapan orang tua kami. Bahkan saat bunda mengajaknya bercanda pun dia hanya tersenyum tipis saja. Menurutku kali ini akan sama saja. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya yang awal-awalnya saja yang lembut dan sopan.

"Aduh, sama dong Ka. Erin juga sibuk banget sama kerjaannya, makanya gak sempet-sempet buat nyari pasangan. Makanya aku inisiatif buat jodohin anak kita, karena cocok aja menurutku, Ka."

"Bener, Ta. Kaya Allen yang gak sempet buat nyari istri. Kita emang udah ditakdirin besenan, Ta," tawa mama Allen pecah.

Biasa, emak-emak rempong!

"Anak kamu cantik loh, Ta. Kaya kamu waktu SMA."

"Aduh, bisa aja deh. Allen juga ganteng, Ka, kaya kamu waktu SMA. Matanya kecil-kecil gimana gitu."

Mereka saling memuji satu sama lain. Namun kali ini atmosfernya berbeda. Terlihat tulus dan hangat. Sepertinya mereka benar-benar dekat deh. Aku menyantap sepotong muffin dimeja. Tiba-tiba nereka diam, bunda menunjuk Allen menggunakan bibirnya yang merah merona.

"Kalau bosen dengerin cerita kita, kalian jalan-jalan aja."

"Iya, pigi Len," sahut tante Eka menyuruh.

"Iya, buat PDKT-an."

Allen menatapku sekilas, aku mengangguk walaupun berat. Kami pergi berpamitan keluar. Tidak lupa meninggalkan tas dan hanya membawa ponselku saja.

Tiga puluh menit-an aku dan Allen didalam mobil tanpa bicara sedikit pun. Kami tak saling bicara sejak masuk kedalam mobil. Mobil berhenti ketika lampu merah. Dia menoleh padaku.

"Maaf, aku benar-benar gak pintar nyari topik," ucapnya pelan.

Allen fokus kembali fokus mengemudi setelah lampu lalulintas berganti. Aku sibuk menatap jalanan malam yang menurutku indah dilihat. Aku jarang keluar, apalagi keliling-keliling gini. Biasanya keluar cuma buat jajan doang.

"Gak papa, wajar. Kita baru ketemu soalnya," kataku nenyahuti.

"Apa aku boleh tanya-tanya? Entah kita cocok atau tidak nantinya, apa kamu keberatan buat jawab pertanyaanku?"

Aku melihatnya sekilas. Badanku kuluruskan kedepan.

"Apa kamu setuju dengan perjodohan ini?"

Allen mulai melontarkan pertanyaan aneh padaku.

"Iya," jawabku terpaksa.

Mana bisa aku menolak mentah-mentah dihadapan orangnya langsung.

"Emang kamu gak keberatan nikah sama aku?"

"Kita bisa PDKT dulu," jawabku.

"Ok."

Dan kami kembali diam. Entah sudah berapa lama aku dan Allen mengitari kota, aku mulai kedinginan didalam mobil. Allen yang sepertinya sadar langsung mematikan AC mobil. Kami tiba-tiba saja sampai kembali di restoran sebelumnya. Aku turun diikuti Allen. Bunda dan tante juga terlihat seperti hendak pulang.

ERINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang