04. Malam pertama.

1 0 0
                                    

Aku menghela nafas, sehari setelah pernikahanku yang dijodohkan oleh Bunda rasanya melelahkan. Aku sudah hiatus menggambar sebulan sebelum pernikahan. Mungkin bulan depan aku harus kembali mmeggambar lagi. Walaupun sudah menikah, tetap saja sebaiknya aku bekerja.

Bunda menang.

Beliau sudah menyaksikan pernikahan kami dengan matanya sendiri. Mungkin bunda mengira kalau aku bahagia. Tidak. Aku tidak bahagia. Bagaimana bisa aku bahagia dengan pernikahan yang tak kuinginkan, dan aku hanya dibawa dua kali olehnya ke rumah ini dan tiba-tiba sudah tinggal disini.

Aku terperanjat kaget. Tanpa sadar berdiri tegak, pintu diketuk kuat dari luar. Berjalan cepat menuju pintu, aku membukanya pelan, ada adik iparku yang menatapku tajam. Raut wajahnya terlihat meremehkan dan bikin kesel!

"Mana bang Allen?" tanyanya sambil mencuri pandangan kedalam. Pintu tidak aku buka lebar karena ini privasi menurutku.

"Udah berangkat, dek."

"Kamu kenapa sih sewot banget jawab pertanyaanku?!" bentaknya dengan kaki yang dia hempas kelantai.

Ha?

Serius?

Ni bocah SMA kok bikin kesel, ya?

"Maaf, aku mau istirahat."

Pintu kututup tanpa memperdulikan teriakan adik Allen. Dia kesal dan marah saat aku mengabaikannya. Fiks, sih dia gsk suka sama aku. Pintu digedor-gedor lagi, berisik! Besok aku pindah ke rumahku. Ini juga alasan mengapa aku gak mau nikah! Males ngadepin orang kaya adiknya Allen.

Kalau emang gak suka gak usah ditunjukin.

Tubuhku aku hempaskan kekasur. Rasanya bosen. Mama sudah pergi kerja, jadi aku tidak perlu keluar kamar untuk menjaga image-ku sebagai menantu baru. Apalagi ada adik ipar yang kelakuannya bikin orang always sabar. Entahlah, rasanya aku gak semangat hidup lagi.

Huh!

Harusnya aku nolak saja saat dijodohkan!

Mungkin Sella-adik Allen sudah pergi. Karena tidak ada lagi suara ocehannya. Entah bagaimana kedekatan mereka, tapi aku lihat sepertinya dia cemburu karena kakaknya menikah.

Aneh banget dah.

Aku berdiri kembali, mengambil ponsel dan menyalakannya. Satu pesan dari teman sekolahku yang mengirimkan bukti transfer kerekening. Bella! Ada-ada saja kamu.

Lima juta aku dapati cuma-cuma.

Lumayanlah.

Menonton Maruko Chan sambil menyantap apel yang subuh tadi Allen siapkan untukku. Kadang aku merasa kasihan pada Allen, dzfrzia nikah dengan jodohkan, umur juga masih baru. Mana nikahnya sama aku pula.

Kasihan.

°°°

Nafasku keluar samar. Adik iparku duduk didepanku sambil menatap tajam. Bibirnya itu rasanya mau kutabok, sumpah.

Allen sudah pulang dua jam lalu, kami sedang makan malam dibawah. Ada Aku, Allen, Sella dan kakak ipar dengan istri dan anaknya. Kami menyantap makanan yang disiapkan dimeja, terkecuali Sella. Dia hanya ikut hadir untuk melempar tatapan bencinya padaku.

Piringku sudah habis duluan. Meneguk segelas air, dan berdiri. Allen menahan tanganku, menyuruhku untuk kembali duduk. Oke. Mungkin attitudeku yang minus. Seharusnya aku pamit dulu pada kakak ipar.

Allen mengusap tanganku, mungkin dia sadar kalau sekarang aku gelisah. Risih. Ini kali pertama tanganku diusap oleh laki-laki lain selain Nata. Aku menoleh sekilas padanya, meneguk air dan diam.

"Kerin, kamu udah ngisi?"

Ucapan kakak ipar berhasil membuatku terbelalak kaget. Allen juga tiba-tiba batuk. Ngi-ngisi? Aku saja tidak pernah berpikiran buat hamil. Malam pertama juga belum kami lakuin.

"Kenapa?" tanya kakak ipar kaget karena kami tak saling menjawab.

"Belum, kak. Mungkin nanti." Allen mengusap tanganku. Menjawab pertanyaan kakaknya dengan senyuman.

"Jangan kelamaan, biar Iban ada temennya." Gelak tawa kakak ipar membuatku canggung.

Kali ini mama tidak ikut makan bersama dikarenakan sibuk, entahlah aku tidak tau pekerjaan beliau. Tapi yang pasti, setiap harinya dia pulang jam tiga shubuh, kemudian pergi lagi dijam enam pagi.

Aku berdiri, membungkuk untuk izin naik dengan alasan mengantuk.

"Kerin, jangan tidur dulu habis makan," ucap kakak ipar.

"Baik," jawabku.

Langkahku dipercepat sedikit, menaiki tangga yang melingkar ini membuatku lelah. Pasalnya rumahku sendiri tidak ribet begini. Segera aku duduk bersandar disofa. Memainkan ponsel dan beremcana memesan makanan online dengan alamat rumah. Pintu tiba-tiba terbuka lebar, ada Allen dengan apel dan anggur dipiring yang dia pegang. Allen mengambil meja kecil, menaruh apel dan duduk disampingku.

Tangannya sibuk mengupas apel.

"Aku tau kamu gak cinta sama aku."

Tiba-tiba Allen berucap.

Aku menatapnya nanar.

"Maaf," tuturnya.

"Seharusnya aku nolak waktu kita dijodohkan."

Aku masih diam.

"Maaf, ini salahku."

Menaruh ponsel dimeja, aku meraih wajah Allen menggunakan tanganku. Matanya sayu. Mungkin leleh karena terus-terusan bekerja. Bibirnya bagus, rahangnya juga tegas. Aku menghela nafas panjang sebelum menciuminya. Allen tidak membalas, aku melumat kasar bibirnya dan berusaha agar mendapat follback dari orang yang sudah menjadi suamiku ini. Tanganku memegang lehernya. Wajahnya memerah, matanya juga membelalak menatapku. Mungkin Allen kaget.

Allen menepis wajahku.

"Harusnya aku yang mulai," ucapnya.

Ha?

Allen menarik leherku menggunakan tangannya. Mencium bibirku dengan ganas. Dia juga meninggalkan bekas dileher. Alhasil mau tak mau aku harus menutupinya kalau keluar.

"Gak papa?" tanya Allen hati-hati.

"Iya," jawabku pasrah.

Memang sebaiknya aku menerima keadaan. Harus pasrah pada takdir. Mungkin Allen berbeda dari laki-laki lain. Allen menutup rapat pintu kamar, tidak lupa menguncinya. Aku berbaring diatas kasur. Di melepaskan bajunya, menampakkan tubuh atletis yang sempurna. Nafasku tidak beraturan, jujur aku——belum siap.


 Nafasku tidak beraturan, jujur aku——belum siap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SELLA 18 TAHUN.
MASIH SMA.
TIDAK DIKETAHUI
TIDAK DIKETAHUI

ERINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang