27 : Kedatangan Seseorang

689 77 0
                                    

-----
Happy reading
-----

"Hati-hati." Angkasa memberi peringatan pada Bumi yang sedang berjalan dalam gandengannya dan Bintang.

Luka di kaki karena tendangan Devan, membuat Bumi sedikit pincang. Maka dari itu Angkasa dan Bintang membantu dengan cara memapahnya.

"Tendangan si Devan gak main-main," ucap Bumi saat merasakan kakinya sedikit ngilu.

Langit berjalan dibelakang mereka, tangan kanannya memegang tas Bumi.

Mereka berempat sudah berada di parkiran motor. Bumi terpaksa di bonceng Bintang, padahal dirinya sendiri membawa motor.

"Motor gue gimana?" tanya Bumi.

"Tenang, nanti gue telepon supir rumah gue buat ngambil motor lo," jawab Angkasa santai.

"Sultan mah bebas," celetuk Bintang.

Setelah semuanya siap, mereka melajukan motor membelah jalanan padat ibu kota, Jakarta.

Di pertengahan jalan. Bumi berucap, "Kita mampir dulu ke rumah makan, gue laper."

Sesuai ucapan Bumi tadi, sekarang keempatnya berada di sebuah rumah makan langganan Bumi. Mereka berniat makan dahulu sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke apartemen Bumi.

***

Sesampainya di apartemen Bumi. Dahi mereka dibuat mengernyit heran, saat melihat pintu apartemen yang sedikit terbuka.

"Di apartemen lo ada orang Bum?" tanya Langit membuka suara.

Bumi menggeleng. "Gak tahu gue, kok bisa kebuka ya. Padahal yang tahu sandinya cuma gue, kalian sama Bang Jovian."

"Atau jangan-jangan ada maling lagi?" tanya Bintang

"Mereka mau maling apaan coba di apartemen gue? Lagian apartemen ini keamanannya terjamin."

"Tinggal masuk aja sih buat mastiin," usul Angkasa yang tentu saja langsung disetujui.

Saat sudah masuk. Mereka melihat di sofa ada kedua orang tua Bumi yang sedang bermain ponsel.

"Kalian ngapain disini?" tanya Bumi sedikit ketus pada kedua orang tuanya.

Mama dan papa Bumi menoleh kearah pintu. Mereka mendekati Bumi. "Bumi, itu wajah kamu kenapa? Kenapa banyak plester luka gitu? Itu juga kenapa kamu di papah gitu?" tanya mama Bumi beruntun.

"Gak usah sok peduli," balas Bumi dingin.

Angkasa, Bintang dan Langit saling melirik. Mencoba memberikan kode yang hanya di mengerti oleh ketiganya. Mereka rasa ini bukan ranah mereka untuk terus mendengarkan pembicaraan Bumi dan kedua orang tuanya. Jadi mereka memutuskan untuk berpamitan.

"Bum, gue sama yang lain pamit pulang dulu ya." Bumi mengangguk.

"Om, Tan. Kita pamit, assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam."

Setelah ketiga sahabat Bumi pergi, fokus kedua orang tua itu kembali kearah putranya. Mama Bumi memegang tangan putranya, begitupun dengan sang papa. Mereka membantu Bumi berjalan kearah sofa.

"Mama sama Papa belum jawab pertanyaan Bumi, kalian berdua ngapain disini?" tanya Bumi sambil memandang sekitar apartemennya. Dirinya berusaha tidak menatap kedua orang tuanya yang saat ini sedang memandangnya sendu.

Papa Bumi yang melihat tingkah laku putra semata wayangnya itu menghela napas. Ia tahu, ini juga kesalahannya, hingga membuat putranya bersikap seperti itu.

"Kita sudah memberikan surat cerai kita ke pengadilan, tinggal menunggu sidangnya saja. Tujuan kita kesini untuk menanyakan kepada kamu."

"Nanyain apa?"

"Untuk hak asuh kamu, kita memutuskan biar kamu yang memilih. Ingin ikut Papa atau Mama?"

Bumi memejamkan mata mendengar itu. "Bumi gak akan pilih siapa-siapa. Bumi akan tetap tinggal disini."

"Tidak bisa begitu Bumi. Kamu harus memilih salah satu diantara kita. Kalau kamu pilih Papa, kamu harus ikut dengan Papa ke Amerika. Kita akan melanjutkan hidup disana dengan calon mama baru kamu."

"Dan kalau kamu ikut Mama kamu, kamu berarti harus siap untuk pergi ke Surabaya."

"Kalian egois, jadi setelah Bumi pergi saat malam itu. Kalian bukannya merenungkan kesalahan kalian, tapi malah mengurus surat cerai. Sumpah, kalian bener-bener egois."

Bumi memandangi wajah kedua orang tuanya sedih. Mereka berdua tidak pernah berubah, selalu mementingkan ego masing-masing. Tanpa memikirkan jika mereka masih mempunyai dirinya.

Tidak bisakah mereka pikir, Bumi takut. Jika kedepannya mereka berpisah dan menjalani kehidupan dengan keluarga barunya.

Bumi hanya takut, ia tak diterima di keluarga baru mama dan papanya. Apalagi setelah mendengar kisah Bintang tentang bagaimana kejamnya ayah tirinya kepada Bintang.

Bukannya Bumi lebay, tapi entah mengapa saat memikirkan itu membuat dirinya ketakutan. Walaupun Bumi sadar tidak semua ayah tiri seperti itu, tetap saja ada rasa takut dihatinya.

Bumi sadar, dirinya sudah besar. Sudah bisa untuk hidup sendiri, bahkan ia sudah melakukannya sejak tinggal di apartemen kan?

"Bumi gak akan pilih siapa-siapa diantara kalian. Bumi udah gede, udah bisa hidup sendiri. Tentang keputusan kalian, terserah kalian. Bumi gak akan ikut campur."

Bumi pergi dari apartemennya. Dengan sedikit pincang dirinya berjalan memasuki lift. Bumi tak menghiraukan teriakan mama dan papanya yang terus memanggil.

Yang dia pikirkan saat ini hanyalah, pergi. Pergi sejauh mungkin dari hadapan kedua orang tuanya.

Lama-kelamaan, Bumi merasa muak sendiri dengan kehidupan pelik ini.

Di dalam lift, Bumi menelpon Angkasa.

"Halo, kenapa Bum?"

"Jemput gue di basement apartemen bisa?"

"Oke, gue otw."

Bumi langsung mematikan sambungan teleponnya. Kepalanya menatap sepatu hitamnya dengan pandangan kosong.

Kedua orang tuanya kali ini membuat Bumi mau tak mau merasa benci pada keduanya. Bumi tahu ini salah, ia tak seharusnya kekanakan seperti ini.

Namun sekali lagi, Bumi juga manusia. Ia juga bisa merasakan lelah.

_______________________________________________
TBC

Thank you.

SAHABAT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang