1. Lebih Penting Bapaknya

67 4 0
                                    

"Kamu cantik banget," gumam Arga pelan, bibirnya masih setia menciumi bahu dan punggungku, tangannya sibuk melakukan hal lain. "Perempuan paling cantik yang pernah kukenal."

Alah, omongan pria setelah kepuasan melanda mana bisa dipercaya. Tapi, aku tetap senang mendengar pujiannya itu. Meskipun aku tahu aku cantik, mendengarnya dari mulut orang lain penting untuk validasi diri.

"Iya makasih pujiannya, sekarang aku mau mandi," aku menggeser tangannya dari pahaku.

Arga menggeram, pelukannya malah dikencangkan. "Nanggung, sekali lagi ya?"

"Dasar maniak kamu!" aku memukul tangannya pelan. "Ini udah jam dua, besok kamu kerja lho!"

Aku sih gak masalah ya mau sampai jam berapapun karena statusku sebagai pengangguran banyak uang membebaskanku untuk bangun kapanpun, tapi tidak dengan pria bertangan nakal ini. Dan sebagai istri yang cantik dan baik hati, aku harus mengingatkannya, dong?

"10 menit aja." Mohonnya, bibirnya melengkung ke bawah dengan sorot penuh harap.

"Bohong, 10 menit apanya!" Seru juga agak tarik ulur begini, membuat tampang tersiksa suamiku itu semakin ketara. "Aku mau mandi, udah lengket banget ini!"

Dengan tidak ikhlas ia melepaskanku dari pelukannya, aku pun bergegas ke kamar mandi dengan langkah yang sedikit seduktif. Sesuai tebakanku, mana bisa laki-laki ini membiarkanku begitu saja. Tangannya menghalangi pintu yang akan ku tutup dan memberikan sedikit dorongan agar ia bisa masuk.

Aku tertawa mengejek melihat tingkahnya, namun setiap sentuhan yang dia berikan tetap kuterima dengan baik dan kubalas dengan intensitas yang sama.

Sebagai penganut hedonisme sejati, tujuan utama manusia hidup adalah untuk kenikmatan, kan?

•••

Aku bangun diiringi dering ponsel yang tidak mau berhenti. Setelah meraba-raba cukup lama, akhirnya kutemukan ponselku tergeletak di bawah nakas. Entah apa yang bisa menyebabkannya berakhir di sana.

"Ya? Halo?"

"Lulu? Lo dimana?"

Ya dimana lagi sih kalau pagi-pagi begini?! "Di rumah."

"Eh si goblok! Hari ini peresmian butik nyokap lo tolol! Ini acara udah ditunda sejam lebih karena lo gak nongol-nongol!"

Mataku langsung terbuka sempurna. Mati! Ku lirik jam besar di dekat jendela, jarum jamnya menunjukkan pukul empat sore! Gila! Aku lupa kemarin selesai jam berapa sama si brengsek Arga, tapi tidak mengira bisa kebablasan sampai sore begini tidurnya.

Kualat ngatain suami beginilah akibatnya.

Takut-takut kulihat missed calls dan pesan tak terbaca dari asisten, teman, dan mamiku. Penuh dengan kutukan dan ancaman. Bergegas langsung kuangkat tubuhku untuk mandi dan siap-siap.

Tak sampai satu jam kemudian aku sudah menuruni tangga, tidak peduli dengan sekitarku, aku sibuk mengecek kembali barang bawaan di tas Kelly biruku yang hanya muat perintilan ini.

"Hebat banget, bangun sore terus mau langsung kabur gitu ya? Anak pulang sekolah udah makan atau belum mana ada diperhatiin."

Langkahku terhenti mendengar sindiran ini, tentu bukan hal baru bagiku jadi tidak kupedulikan. Pandanganku melayang ke anak perempuan di meja makan yang bahkan enggan melihatku.

"Itu anaknya udah pulang dan udah makan, mo gimana lagi, Bu?"

Mertuaku itu pun mendengus. "Minimal ditanyain atau diperhatiin gitu lho Livia, ini Diara kan anak kamu juga. Lagi, kamu bangun jam segini, jadi tadi pagi Arga siapa yang urus?"

Drama banget ya ampun.

Rumah sebesar ini gak kekurangan asisten rumah tangga ataupun tukang masak, dan ada juga ibu mertuaku yang seperti supervisor mengawasi pekerjaan mereka, tugasku apa jadinya?

"Bu, aku udah telat, marahnya nanti aja ya, aku pergi dulu!"

Aku langsung tanpa ba bi bu berlari kecil menuju pintu depan dimana sopir dan mobilku sudah menanti. Kalau mau meladeni ibu mertuaku mengomel, bisa-bisa aku beneran dikutuk sama Mami.

"Nah ini dia bintangnya hari ini, akhirnya acaranya bisa dilanjutin ya, Jeng?" sapa tante Medina Islan, seorang penyanyi senior yang juga adalah teman mamiku. Aku hanya memamerkan senyum manis sebagai balasan.

Untungnya tadi di mobil aku sempat touch up dan memastikan penampilanku cukup paripurna untuk dipamerkan. Jadi, meskipun terlambat, tidak ada manusia yang tidak maklum.

Keuntungan jadi orang cantik ya begini.

"Kamu gak mau join agensi Tante aja, Lu? Tampang begini sayang kalau diendapin di rumah doang!" lanjut Tante Medina, sejak aku lulus SMP sudah dicanang-canangkan untuk jadi artis terkenal. Sayangnya aku tidak mau. Ngapain kerja keras kalau duit Papiku banyak.

"Ada-ada aja kamu Med, dia udah punya buntut itu!" Mami muncul entah dari mana lalu menggandeng tanganku. "Mami udah hampir telpon Om Kusno untuk coret kamu dari kartu keluarga kalau gak dateng, tau ga!"

"Maaf mi, biasalah banyak huru-hara dalam hidup aku." Jawabku sambil membuat raut sedih, semoga saja Mami percaya.

"Halah! Tadi Mami telpon Arga kok, dia tanya Ibunya katanya kamu belum bangun! Dasar pemalas kamu ini, jangan sampe kamu dibalikin loh sama Ibunya Arga!"

"Dibalikin, dibalikin, emangnya aku tas counter yang bisa dibalikin asal ada tag-nya!" rungutku, meskipun Mami tahu kelakuan ibu mertuaku, nyatanya beliau juga tidak berpendapat apa-apa. Malah katanya ini karmaku karena suka melawan.

"Lagian ya Mi, Arga aja gak papa kok aku suka mager, kan sebelum nikah udah dibilangin." Aku melihat-lihat gaun hasil desain Mami dan beberapa desainer Indie di bawah naungan sekolah modenya dengan takjub, memang tangan Mami ini sangat feminin sekali. Apapun yang dibuat olehnya terlihat cantik. "Aku mau gaun ini, Mi."

"Ambil." Jawab Mami sambil menginstruksikan salah satu pramuniaga disitu untuk mengambil gaun tersebut. "Tapi ya Lu, ini Arga masih oke-oke aja sama kamu ya karena kamu masih cantik singset begini, nanti lama-lama kalau dia eneg liat tingkah princess kamu gimana?"

Aku mendengus. "Ya tinggal cantik terus kan? Apa susahnya?"

"Manusia kan punya titik jenuh, Lulu. Kalau pas dia capek trus kamu malah kayak Nyonya Besar gabisa ngapa-ngapain, pasti dia jengkellah sama kamu."

"Duh Mami udah deh, aku emang dari sananya begini, mana bisa diubah. Ini salah didikan Mami, tahu!"

Mami mencubit perutku pelan. "Jadi Mami yang disalahin! Mami kan—"

"Bu Mia, udah bisa potong pita sekarang ya," potong seseorang dari belakang kami. Aku berbalik dan melihat seorang wanita muda, menggunakan salah satu gaun yang ada di display. Wajahnya menarik, seperti familiar bagiku tapi tidak ada di folder wajah dalam otakku, alias aku tidak mengenalinya.

"Oh iya, Gen, yang lain udah di sana?"

"Udah, Bu."

"Oke, oke." Mami menarik tanganku menuju lokasi pemotongan pita. Kurasakan si Gen-Gen ini beberapa kali mencuri tatap padaku. Dia belum pernah lihat bidadari di depan mata apa gimana?

Tapi tampang familiarnya itu juga cukup mengganggu.

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Love Realization - Marriage, Love, & TrustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang