5. Kabar Burung

14 2 0
                                    

"Hai, udah lama?" Arga menyapa sebelum duduk di depan seorang wanita berbaju hitam, sore itu. Rasanya sudah lama sekali tidak bertemu dengan sosok ini, setelah peristiwa menyedihkan yang bak gasing tajam menghantam semua pihak yang terlibat. "Udah ketemu Diara?"

"Belum lama kok, dan tadi aku sempat ke sekolah Diara sebelum dia dijemput... sama istri kamu."

Arga menoleh, tumben-tumbenan istri manjanya itu mau meluangkan waktu untuk menjemput Diara. "Kamu ketemu Livia dong?"

"Nggak," wanita itu menggeleng. "Tadi cuma lihat mobilnya, terus kata Diara itu Tante Livia."

"Livia gak jemput itu berarti." Ah, Arga paham. Jadi Prudence hanya mengirim Pak Tito dan Gianna untuk menjemput Diara, karena kalau ia ikut, tidak mungkin Prudence menyia-nyiakan kesempatan untuk turun dan menyapa ibu-ibu di situ, menebarkan pesonanya.

"Kamu tahu banget? Udah kepincut kamu ya?" tanyanya dengan nada santai, namun tak bisa dipungkiri hatinya menunggu jawaban.

"Yaa namanya juga pasangan, sooner or later you pick up on their traits."

Betul, perasaan Arga kepada istrinya bukan yang meledak-ledak tak tertahan. Hubungan mereka nyaman, seperti menikahi teman sendiri. Arga suka memperhatikan Prudence dan seluruh tingkah polahnya. Istrinya itu benar-benar cerminan perempuan kurang pengalaman yang bagai buku terbuka, tulus dan tidak punya tipu daya.

Berbeda dengan perempuan di hadapannya. Tentu saja, dari gaya berpakaian saja mereka sudah bertolak belakang. Arga tiba-tiba ingat gaya fashion Prudence yang colorful tapi tidak norak, ditopang wajahnya yang menawan itu, semua pakaian tampak indah di tubuhnya. Sementara sosok ini didominasi warna hitam, ia selalu bergurau kalau hidupnya sudah penuh drama, jadi ia tak perlu warna lain.

"Gak terasa sudah lima bulan ya kalian menikah? Does it fit you, being a husband? Kamu dulu fokus belajar sampe gak mau pacaran sama siapa pun."

"Dulu aku punya tanggung jawab yang harus dijalankan, gak mungkin Ibu yang urus perusahaan, kan? Just wanted to make myself worth the position."

"Yes you and your sense of responsibility, truly inspiring." Katanya dengan nada sarkastik yang kentara.

Arga diam, menunggu ibu kandung Diara itu melanjutkan ucapannya. Saat ia tetap diam, Arga pun menaruh tangannya di meja dan menatap serius. "My way of living is none of your business, Gi. At least someone was responsible enough during those awful years. Kalau ga, Diara mungkin ga ada di sini."

"Okay, maaf. Aku udah kelewat batas." Dihirupnya oksigen banyak-banyak, ingatan masa lalu tidak pernah membawa kedamaian. "Aku ajak kamu ketemu bukan untuk ngejudge kamu, aku mau minta satu hal. Aku harap kamu mengabulkan."

"Speak."

"Kamu tahu, sekarang aku udah menetap di Jakarta, aku ada pekerjaan tetap, I'm stable, clean." Ia kembali menarik napas dalam. "Aku mau coba asuh Diara."

Kadar emosi Arga langsung naik ke ubun-ubunnya. "Gak bisa! Udah gila kamu?"

Nada suara yang dinaikkan membuat mereka jadi perhatian di gerai kopi tersebut. Si pihak perempuan menatap Arga memelas. "Please, kasih aku kesempatan. Aku tahu Prudence gak suka sama Diara, she's a spoiled girl yang gak ada naluri keibuan dan rasa peduli sama orang lain. Diara butuh sosok ibu untuk perkembangannya. I've talked to a few psychologists, I'm better now, I promise."

"Jawabannya masih sama. Kamu mau ketemu Diara, silahkan. Tapi jangan sekali-kali berpikir aku akan izinkan kamu ambil Diara."

"Tapi Diara anak aku, Arga!"

Love Realization - Marriage, Love, & TrustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang