6. Livia Yang Gak Living Well

18 2 2
                                    

Kata Opanya, Prudence diberikan nama Prudence Livia Soebandi supaya hidupnya penuh bijaksana. Supaya setiap langkah yang diambil sudah melalui pemikiran yang matang, tahu cara bersikap dalam segala situasi.

Well, memang seharusnya orang tua tidak memiliki harapan yang muluk-muluk terhadap anak yang baru lahir. Sepertinya didoakan untuk sehat sejahtera saja sudah cukup. Karena, lihatlah bayi mungil berkulit merona yang kelahirannya disiarkan di halaman utama surat kabar ternama di tahun 1999 itu, namanya seperti mencemooh tiap keputusannya yang impulsif.

Sudahlah impulsif, lemah hati pula. Prudence, kelebihanmu memang cuma wajahmu itu ya!, batinnya kesal. Pasalnya, ia baru dibujuk-bujuk sedikit, dimanja-manja sedikit, diucapkan kalimat-kalimat manis lalu langsung mau mengikuti segala keinginan si bedebah Argatama.

"Ya, sayang, ya??"

Prudence mendesah. "Masa harus jemput tiap hari sih? Kamu mau Diara moodnya ancur tiap pulang sekolah?"

"Bukan cuma jemput Yang, kalau bisa kamu temenin Diara makan siang juga, ya? Dia masih TK lho,"

"Yaampun," Prudence memutar bola matanya sebal, yang bener aja laki-laki ini? "Itu sekolahnya Diara udah International plus plus loh, pasti pas makan siang juga ditemenin sama Missnya!"

"Anggep aja ini usaha kamu buat deket lagi sama dia—"

"Katanya gak papa kalau aku gak deket sama Ibu dan anak kamu?"

"Aku berubah pikiran. Lihat kejadian tadi, sepertinya akan lebih baik kalau kamu deket sama Ibu dan Diara, karena aku gak bisa 24 jam sama kamu, Sayang. Gimana kalau nanti kita punya anak, masa kamu urus sendiri?"

Arga sudah hampir kehabisan akal. Sejak di perjalanan pulang, ia sudah dirundung kepanikan dengan permintaan ibu kandung Diara yang tiba-tiba. Ia harus bisa membuktikan pada wanita itu bahwa keberadaannya tidak dibutuhkan untuk tumbuh kembang sang anak.

"Kok sendiri? Kan bisa hire suste—"

"Ibu gak bakal izinin hire suster atau semacamnya."

"Loh, loh," kedua tangan Prudence terangkat, mempertanyakan. "Kamu berharap aku setengah mati lahiran, terus ngurus anak kamu sendiri? Aku aja dari lahir ada dua suster, tiga au pairs loh! Mana janji kamu yang mengutamakan kenyamanan aku?!"

Waduh, Arga salah langkah tampaknya. Niatnya ingin mendorong Prudence agar segera menyetujui usulannya, dia malah menjilat ludah sendiri. "Ga gitu maksud aku. Kamu jangan salah paham, ya?" Dielusnya punggung sang istri agar segera tenang. "Aku salah, hm? Aku cuma pengen kamu sedikiiit aja deket sama Diara dan Ibu, jadi hari-hari kamu di rumah jadi menyenangkan. Kalau kamu suka kelayapan mungkin aku gak bakal khawatir, tapi ini masalahnya kamu 80% di rumah, gak enak kalau ga akur kan?"

"Yaudah mulai besok aku kelayapan, Singapore, Thailand, pokoknya yang bisa day trip aku jalanin."

"C'mon," Arga tertawa kecil, melihat raut wajah merajuk Prudence ia sebenarnya tak tega, tapi tak ingin juga Diara diambil darinya. "Aku tahu kamu mageran." Tangannya bergerak ke dalam piyama Pru, "Kamu juga gak bisa jauh dari aku, kan?"

"Kamu yang gak bisa jauh dari aku."

"Betul. Jadi gak usah kelayapan, hm? Temenin Diara aja di TKnya, abis itu kamu anter lunch ke kantor."

"Jadi tambah jobdescnya?"

"Biar kamu senang,"

"Gak. Aku gak bakal dimanfaatin sama omongan manismu."

"Beneran?" Tangannya semakin naik ke atas, pas sekali istrinya ini memang anti-bra saat sudah di kamar.

"Beneran..."

Love Realization - Marriage, Love, & TrustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang