Bagaimana Mengurangi Kadar Perfeksionis dalam Diri?

4 0 0
                                    


Gimana sih buat let go? Gue kayaknya perfeksionis banget.

Saya sering dapat "curhatan" begitu dari lingkungan sekitar saya. Emang bagaimana bisa tau kalau kita ini perfeksionis, dan bagaimana mengurangi kadarnya?

Cara tahu apakah kita perfectionist adalah dengan melihat apakah tanda-tanda berikut ini ada pada kita:

TANDA 1: Kita mengharapkan kesempurnaan dari orang lain, dan sulit menerima kesalahan pada diri sendiri. Kita mengukur diri kita dan orang lain dari achievement yang kita dapatkan.

TANDA 2: Kita sering setor tugas last minute, dan itu karena kita tidak bisa berhenti merevisi. Yakin bahwa tugas yang kita buat ini masih belum sempurna.

TANDA 3: Kita tidak bahagia dengan hidup ini, karena kita merasa kurang sempurna. Tidak bisa merayakan pencapaian dan sibuk menghindari hal-hal yang akan membuat kita gagal.

(Sumber dari artikel Forbes)

Lalu bagaimana kita bisa mengatasi semua harapan akan kesempurnaan ini, agar kita bisa hidup lebih bahagia?

STEP 1: Belajar menerima ketidaksempurnaan, bahwa kita melakukan kesalahan.

Terdengar mudah, tapi kalau kita seorang perfeksionis, ini sulit banget buat dilakukan. Soalnya kata Matt Plummer, founder dari Zarvana Coaching Service di artikel Harvard Business Review, seorang perfeksionis biasanya memiliki masa lalu yang bikin insecure. Orang tua yang memiliki ekspektasi tinggi, konsekuensi yang menakutkan kalau gagal melakukan sesuatu, atau rasa tidak mau kalah dari orang lain karena takut dianggap payah.

Lalu bagaimana? Well, katanya sih hal ini bisa dilakukan dengan melihat bigger picture-nya. Jadi fokus kita lebih kepada overall kehidupan dan tidak pada hal-hal kecil yang dilakukan setiap hari. Lalu pindahkan fokus ke "apakah kita menggunakan waktu dengan efektif?" Sebagai seorang perfeksionis, tentunya hal ini bisa mengalihkan perhatian kita dari hal-hal kecil yang kurang sempurna, karena untuk hidup yang 'sempurna', ada beberapa hal yang memang harus dikorbankan. Kalau masih belum bisa? Coba adjust standard yang dimiliki. Benchmark ke kanan dan kiri apakah sebenarnya yang menurut kita belum sempurna itu sudah 'good enough' dan kita yang harusnya adjust standar kita.

STEP 2: Temukan trigger-nya, dan point-point lain yang bisa digunakan untuk mendeteksi kapan perfeksionisme kita sudah melewati batas kewajaran.

Buat checklist. Tuliskan hal-hal yang membuat kita jadi perfeksionis. Misalnya kita jadi super concern kalau menyangkut tugas sekolah. Catat semua task yang dilakukan, lalu review di minggu berikutnya untuk melihat, bagian mana yang kita avoid karena takut gagal, atau bagian mana yang membuat kita anxiety karena tidak sempurna. Dari sini kita bisa melihat, apakah perfectionism ini membawa dampak baik dan dampak buruk.

Menemukan trigger ini bisa juga melihat ke belakang karena banyak dari kasus perfectionism ini berasal dari keluarga seperti attachment issue di masa kecil atau beban untuk menyenangkan orang tua (atau anggota keluarga lain) sebagai pembuktian.

STEP 3: Temukan Distraksi. Lakukan beberapa hal yang disukai pada saat yang bersamaan.

Loh, ini bukannya bikin tambah parah? Menurut sebuah artikel yang ditulis di Webmd, melakukan beberapa hal yang disukai secara sekaligus dapat menciptakan distraction yang dibutuhkan agar kita tidak terlalu fokus untuk menyempurnakan satu hal. Distraction juga berguna untuk menciptakan 'break' agar kita tidak terobsesi menjadi sempurna. Distraksi yang diperlukan bukanlah yang juga membutuhkan effort banyak, tetapi pekerjaan rutinitas yang bisa dilakukan secara otomatis. Misalnya mengepel lantai. Lantai bersih, kita puas. Setelah itu kita bisa kembali lagi melakukan hal yang lebih utama dan membebani.

Hh... tapi ini menulisnya juga direvisi melulu karena merasa kurang perfect. Apakah saya juga sebenarnya perfeksionis?

Lho, Kok Bisa? How?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang