Bagaimana Agar Cerita Pencapaian Diri Tidak Dibilang Pamer?

7 0 0
                                    

Sebelum menulis lebih panjang, kita pakai disclaimer dulu ya. Kata pepatah: seorang teman akan melihat pencapaian kita sebagai keberhasilan dan akan ikut senang, seorang musuh akan melihat pencapaian kita sebagai pamer dan akan berusaha menjatuhkan.

Lebaran kemarin ada  percapakan tentang pencapaian. Si A udah bisa beli mobil, si B beli laptop. Ada jasa sewa mobil mewah buat mudik, ada juga yang pamer ijasah, pamer pacar dan pameran lainnya. Emang semuanya itu pamer?

Ambil contoh si X yang sewa mobil mewah untuk dibawa mudik. "Pamer itu, tidak bisa beli mobil mewah kok memasakan diri." Tapi ternyata ada juga yang melihat dari sudut pandang berbeda. "Justru itu pencapaian, bisa sewa mobil mewah pulang kampung. Kan memang dananya hanya cukup untuk sewa." Jadi semuanya memang tergantung apakah si pembaca atau pendengar kisah jadi iri atau ikut senang dengan pencapaian yang kita dapatkan.

Tapi, ada nggak ya caranya biar tidak terang-terangan terlihat seperti pamer atau sombong? Hm...

STEP 1: Cerita kita didukung oleh bukti atau contoh nyata.

Misalnya pas interview kerja. Apa kelebihan dan kekurangan kamu? Yang contoh nyata di depan mata misalnya kelebihan berat badan atau kekurangan penglihatan (alias matanya minus). Tapi bagaimana dengan characteristic seperti detail-oriented, pantang menyerah, leading with emphaty dan lain sebagainya? Nah ini bisa diceritakan dalam bentuk kisah, daripada bilang saya ini pantang menyerah. Kembali ke kasus mobil tersebut, jika si penyewa berhasil menyewa mobil mewah untuk seminggu dengan hasil jerih payah selama setahun terakhir, ini berarti dia adalah seorang pekerja keras dengan target yang jelas.

Tapi tidak semua cerita begitu, dan tidak semua orang tahu kisah di belakang pencapaiannya. Yang julid tetap masih ada. Selalu ada dua sisi, dua sudut pandang dalam cerita. Yang bisa kita lakukan adalah menceritakan faktanya. Setelah itu, opini ada pada masing-masing manusia.

STEP 2: Jangan menjelekkan orang lain

Mendeskripsikan pencapaian kita bukan berarti harus merendahkan orang lain. Pencapaian kita ya fokus ke diri kita sendiri dan kerja keras yang kita lakukan untuk mencapainya. Dan memang kita kerja keras mencapainya, jadi jangan juga merendahkan effort yang kita lakukan dengan kalimat seperti, "ah itu nggak ada apa-apanya kok." Kalau pun kita dapat juara pertama, membagikan kabar pencapaian kita tidak perlu diikuti dengan informasi bahwa juara-juara lain tertinggal jauh di belakang.

Yang ada, give credits when it's due. Misalnya pencapaian kita ini berkat teman yang setia jadi konsultan curhat, atau keluarga yang membantu kita menabung. Namun, tetap diingatkan untuk tidak lebay dan hanya menyatakan fakta yang terjadi. Berlebihan memberikan credit pada orang lain bisa menimbulkan ketidaknyamanan atau bisa disangka sedang mengambil hati.

Nanti jadi bahan julid tambahan lagi.

STEP 3: Jangan Humble Brag atau memberikan pembenaran tentang pencapaianmu

Tidak perlu alasan untuk pamer, eh maksudnya menceritakan pencapaian. Kita tidak perlu memberikan pembenaran atau alasan. Kan faktanya sudah terpampang nyata. 

Maksudnya gimana? Kemarin di salah satu grup WAG emak2 yang saya ikuti ada pembahasan sunscreen. Soalnya memang mau libur Lebaran, plus cuaca lagi puanassss banget. Lagi saling rekomendasi tabir surya, seorang ibu bilang "emang panas ya. Saya jadi repot soalnya anak saya  kulitnya putih karena bapaknya ada keturunan Jepang." 

Kulit putih karena keturunan Jepang ini fakta. Kulit putih lebih rentan gosong dan melepuh juga (sepertinya) fakta. Tapi kalau ditambah dengan intro "Saya jadi repot ..." malah jadi terdengar seperti humble brag dan bikin sebal yang baca. 

Terus jadi ditanya, emang punya anak keturunan Jepang itu pencapaian? Entah deh, yang jelas kalau salah kata, apalagi dalam bahasa tulisan, bisa jadi bumerang.

Lho, Kok Bisa? How?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang