Duduk Bersama

10 5 0
                                    

Percakapan pagi tadi bersama Althanza dan di sore hari bersama Lidya ternyata berdampak besar bagi Fitri. Ia masih dilanda rasa bimbang dengan keputusan yang hendak diambil. Tak ada lagi orang yang dapat diajak diskusi kecuali kakaknya yang masih sibuk bekerja di jam empat sore seperti ini.

“Emang kalo nikah enak? Dih, liat di medsos kayaknya enak, mana uwu gitu,” ucap Fitri sembari menggulir layar ponsel, melihat-lihat postingan orang lain bersama pasangannya. “Apa gue bisa bahagia sama Hasan?”

Lama Fitri tenggelam dalam lamunan yang semu itu. Sampai-sampai tak menyadari kehadiran bundanya yang sedari tadi memperhatikan dari ambang pintu kamar.

"Calonnya Hasan.”

Fitri spontan menoleh dengan mata melotot. "Eh, Bunda sejak kapan di situ?” Fitri bangkit dari posisi duduknya, kemudian menghampiri Bunda Ranti yang menampilkan senyum.

“Giliran dipanggil calonnya Hasan, kamu nengok,” goda Bunda Ranti, membuat Fitri mendengkus.

“Apa sih, Bund,” Rajuk perempuan muda itu sambil memeluk lengan sang bunda  “Lagian aku kaget aja tiba-tiba ada Bunda di sini.”

“Kaget pasti, soalnya dari tadi Bunda panggil kamu malah bengong,” sahut Bunda. Mereka duduk di tepi ranjang. “Ngelamunin apa, sih?”

Fitri terdiam sejenak. Apakah jika bercerita pada bundanya akan membantu menghilangkan rasa bimbang? Ia tak ingin terus berada dalam keadaan seperti ini. Fitri akhirnya mengembuskan napas perlahan sebelum berbicara.
“Bund, aku gak suka sama Hasan. Masa disuruh nikah sama dia, sih? Lagian Bunda juga tau, kan, kalo aku sama dia, tuh, kayak gimana. Bunda, tolonglah pertimbangkan lagi, eh, bukan pertimbangkan, sih, lebih tepatnya jangan sampai perjodohannya jadi,” cerocos Fitri dengan tangan yang memeluk erat lengan bundanya.

Bunda Ranti beralih merangkul bahu putrinya. "Iya, Bunda tau, kok, Hasan gimana," balasnya.
Fitri duduk tegak hingga rangkulan tangan bundanya terlepas.

"Nah, kan! Ayolah, bantuin aku.  Gimana kalo nanti aku sama dia ribut terus? Ntar ada piring terbang kalo kita nikah gimana? Bund, takut stres aku," bujuk Fitri. Wajahnya memelas, berharap dengan itu bundanya mau membantu agar perjodohannya tak terjadi.

"Piring terbang? Uvo maksud kamu?" Bunda tertawa kecil menanggapi ucapan putrinya. Beliau paham maksud dari kalimat yang Fitri utarakan, hanya saja Bunda Ranti ingin berlagak tak paham agar suasana sedikit hangat. "Gak akankah, Sayang. Menurut Bunda, Hasan baik, kok. Terkait kamu gak mau nikah sama dia, itu  tergantung keputusan kamu nanti pas Hasan melamar secara resmi. Utarakan saja apa yang menjadi ganjalan di hati adek. Mungkin dengan itu, adek akan menemukan jawaban yang pas dan jangan lupa istikharah." Bunda membelai lembut rambut hitam milik putrinya dengan penuh rasa sayang.

"Aku udah protes sama Ayah, tapi jawaban ayah malah bikin aku bimbang. Aku goyah liat pengharapan di mata Ayah waktu bilang 'mau, ya, terima perjodohan ini'. Haduh, Bunda ...." Fitri menghela napas pelan sebelum melanjutkan ucapannya. "Terus Althan juga tadi ngasih saran. Dari sudut pandang Ayah dan Althan bikin aku bimbang, Bunda. Terus sekarang aku harus apa? Kepala aku sakit kalo mikir berat-berat kayak gini apalagi ada si Monster Nyebelin di dalam topiknya," lanjut Fitri lengkap dengan raut wajah frustrasi.

"Sebetulnya ini kenapa bapak-bapak bikin perjodohan gini?"

"Sebetulnya kakek yang awalnya pengin cucu cantiknya ini menikah dengan Hasan yang selama ini sudah dianggap cucunya juga," beri tahu Bunda, ia kembali merangkul bahu putrinya. "Istikharah, minta petunjuk pada Allah. Allah yang tahu pasti yang terbaik untuk setiap hamba-Nya. Bunda akan dukung kamu, apa pun keputusannya." Bunda melanjutkan.

Kalimat itu seakan sihir bagi Fitri. Hatinya menghangat dan pemikirannya jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ia memeluk erat tubuh sang bunda.

"Janji, ya, Bunda gak marah apa pun keputusan aku," lirih Fitri.

"Iya, tapi kayaknya bunda bakal lebih seneng kalo adek terima perjodohannya," canda Bunda Ranti yang dibalas decakan dari Fitri.

"Ah, Bunda!"

***

Hasan duduk di ruang makan, memperhatikan ibunya yang sedang memasak. Ia baru pulang dari kampus dan berbegas merapat di sana karena perutnya sudah ingin diisi.

"Ibu, masih lama gak?" tanya Hasan yang sudah tak sabar ingin makan. Harum masakan sang ibu membuat cacing dalam perut semakin berontak meminta amunisi.

Mama menoleh sekilas, kemudian kembali fokus pada bahan masakan yang sedikit lagi selesai. "Mandi dulu sana! Abis itu baru makan," titahnya.

Bukannya berjalan menuju kamar, laki-laki berkemeja hitam itu justru menghampiri ibunya dan mengambil tahu goreng yang masih tertata utuh.

"Nanti aja, aku laper banget, Bu," tolak Hasan setelah mengambil satu potong tahu goreng. Ia kembali ke kursi meja makan dan menyiapkan tahu yang dibawa.

"Ini beneran, nanti malam lamaran?" Hasan kembali melontarkan tanya. Katanya, malam ini akan diadakan lamaran ke rumah tetangga sebuah. Padahal, kemarin gerakan protes dan penolakan sudah dilakukan. Namun, ternyata hal tersebut tidak berdampak besar pada keputusan kedua pihak keluarga.

"Ya, maunya gimana?" Ibu malah balik bertanya, membuat Hasan terdiam.

"Ya, diundur atau gak jadi aja gimana?" tawarnya dengan santai.

"Yakin?" Ibu ikut duduk setelah selesai menata piring masakannya di atas meja.

"Ya, gak yakinlah!" Bukan Hasan yang menyahut, melainkan sosok pria setengah baya yang baru saja bergabung. "Masa mau diundur? Dulu kamu, kan—"

"Sstt ... udah, Pak, udah. Jangan diterusin." Hasan memotong ucapan papanya dengan cepat.

Pak Ghozali tertawa melihat raut panik putranya. "Lagian kenapa mau diundur? Bukannya kemarin udah ngobrol sama ayahnya Fitri? Apa lagi alasan kamu kali ini?"

Hasan menggaruk rambutnya, bingung hendak menjawab apa. Alhasil, ia hanya mampu menampilkan deretan gigi putihnya.

"Lanjutkan saja, jalani yang sudah menjadi kesepakatan dan terima saja jawaban Fitri nanti. Itu ya g akan menjadi penentu kalian,"Pak Ghazali kata , beliau menerima piring berisikan nasi beserta lauknya dari sang istri. "Mau diundur juga nanti kalian bakal nikah ko Fitri jawab iya. Mau lepas Fitri terus jomblo abadi? "

"Astagfirullah, nauzubillah." Hasan melotot mendengar kalimat terakhir dari ucapan sang papa.

"Bajunya udah Ibu siapin. Tinggal dipakai nanti malam, oke?" Hasan hanya mampu mengangguk pasrah dengan punggung yang bersandar sempurna pada badan kursi.

"Nanti malam."

***

Holla olala!

Gimana bab ini?

Sampai jumpa di bab berikutnya. Papay!

Sin, 27 April 2023

Different Ways ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang