Gema berjalan keliling sekolah, dia hanya ingin mencari dimana saja tempat yang bisa membuat dia tidak diganggu oleh orang lain. Lorong, koridor, dan beberapa kelas berkali-kali dia lewati. Sedari ia berjalan, Gema mencoba bodo amat dengan dirinya yang selalu menjadi perhatian oleh banyak kaum hawa yang berpapasan dengannya. Itu sudah menjadi hal biasa, dulu disekolahnnya yang lama, ketika ia baru pertama masuk. Banyak sekali siswi yang memperhatikannya dengan tatapan yang menurut Gema, orang itu terobsesi dan kagum dengannya.
Tetapi seiring berjalannya waktu, mereka pasti akan terbiasa dengan keberadaan Gema yang terlihat mungkin berbeda dari yang lain. Atau terkesan spesial. Gema sendiri tidak merasakan hal yang bisa dibanggakan dalam dirinya. Semua karena dirinya masih merasa kurang, anggap saja dia tidak bersyukur. Tetapi memang benar, dia tidak pernah puas dengan suatu hal yang telah dia capai.
Hidupnya tidak pernah tenang banyak rasa kekecewaan, amarah, dan dendam dalam hatinya. Tetapi satu yang belum Gema sadari, bahwa dia mempunyai rasa takut. Rasa takut yang selalu menghantuinya dimanapun dia berada.
Gema berhenti tepat di belakang sekolah, disana terdapat pohon yang tangkainya dengan kokoh menjalar keatas. Itu adalah pohon Jambu, yang sangat rimbun. Baru pertama kali Gema melihat pohon jambu yang bagus seperti itu. Dia terdiam, muncul pemikiran untuk naik keatas pohon tersebut.
Dengan lincah Gema naik dan tiduran di salah satu tangkai pohon tersebut. Suasana yang sejuk, dan angin yang berhembus membuat Gema merasa mengantuk. Matanya terpejam, mungkin tidur sebentar tidak masalah pikirnya.
"Kenapa kamu ga pernah nurut sama Mama? Kamu mau jadi pembangkang dari kecil hem?" Tanya seorang wanita paruh baya dengan wajah marahnya. Ditangannya sudah memegang sebuah sabuk, yang ia ambil paksa dari celana sragam anak laki-laki didepannya.
Anak laki-laki yang masih berumur 9 tahun itu menangis, dia menyatukan dua tangannya. "Maafin Gema, Gema engga akan ulangi lagi. Gema janji Ma." Ujarnya sesenggukan, memohon agar kali ini dia tidak dihukum seperti hari biasanya.
"Mama udah bilang belum, harus pulang jam berapa?" Tanya Mama Gema dengan nada tegas, tangannya memegang pipi Gema keras hingga Gema kecil merintih.
"Pulang....sekolah harus langsung... pulang." Ujar Gema terbata.
"Udah tau konsekuensi kalo ga patuh?" Tanyanya dengan wajah marah, Gema kecil menangis kemudian mengangguk.
"Balik badan, jangan banyak gerak! Atau Mama tambah cambukan yang akan kamu terima hari ini!!" Teriak Mama Gema didepan wajah anak itu.
Dengan takut dia berbalik badan, dan tak lama punggungnya disambut oleh cambukan yang tak main-main sakitnya. Gema menangis menahan rasa sakit perih, panas, dan tergores dipunggung nya.
"Bangsat," umpat Gema menyadari dirinya terbawa masuk ke mimpi yang terus menerus menghantuinya. Tak sadar air mata Gema mengalir, dia mengusap dengan kasar.
Masa lalunya sangat kejam dan seram, dia berkali-kali mencoba melupakan hal-hal kejam yang telah dilakukan oleh Mamanya sendiri. Gema memegang punggungnya, tak perlu ditanya. Punggungnya adalah saksi dimana dia selalu disiksa hingga meninggalkan bekas. Bekas luka di fisik dan tentunya hati.
Gema melompat dari pohon tersebut, kemudian dia memutuskan pergi untuk ke kelas. Sepertinya bel masuk sudah berbunyi sedari tadi, karena sudah tidak terdengar suara berisik dari dalam.
...
Setelah bel pulang berbunyi sejak 10 menit yang lalu, Lona sudah berjalan keluar kelas dengan menenteng beberapa buku di tangannya. Tangan kanannya mencoba meraih ponsel di saku roknya, kemudian dengan gerakan terbata-bata dia mencari kontak milik Gema. Gema sudah bilang, akan pulang bersama Lona. Dan di perkiraan cowok itu juga tak kunjung kelihatan. Ketika Lona ingin menekan tombol panggil, tiba-tiba sosok Gema muncul.
Cowok itu melepaskan semua kancing sragam osis yang ia kenakan, hingga menampakkan kaos hitam miliknya. Tak lupa dasi yang seharusnya bertengger di leher, kini sudah berada di tangan melilit tangan kanannya seperti sarung tinju. Dibelakang Gema, ada beberapa anak cowok yang setau Lona pasti dia teman kelas Gema.
Cowok itu menjadi sorotan banyak siswa maupun siswi di parkiran sekarang. Banyak siswi yang memotretnya diam-diam untuk dijadikan bahan gosip cogan badboy baru disekolahnnya.
Gema tidak seperti tadi pagi pikir Lona. Tadi pagi cowok itu sangat rapih, dengan tas yang bertengger di bahunya. Namun kini cowok itu seperti sosok yang tidak Lona kenal, tetapi dia benar-benar Gema. Lona menggeleng cepat, mungkin Gema memang seperti itu jika pulang sekolah. Dia kan sudah tidak bertemu Gema bertahun-tahun, mungkin kepribadiannya ada yang berubah.
Lona melambaikan tangannya pada Gema yang sudah hampir berjalan menuju kearahnya. Tetapi ada hal aneh yang terjadi lagi, seolah tak melihat Lona. Gema langsung menyingkir dari Lona menuju motor yang berada di belakang Lona. Dia tak membalas lambaian Lona, cowok itu hanya diam.
"Gem...a." panggil Lona lirih, cowok itu menoleh. Dia menaikkan satu alisnya, seperti tidak kenal.
"Gema, eh maksud gue Novel. Lo beneran ga mau ikut kita-kita?" Tanya Kara.
Novel yang tadinya menatap Lona, dia beralih ke Kara. "Gue ada urusan." Balasnya. Kara mengangguk, dia kemudian melirik Lona yang berdiri di dekat Novel.
"Sama Lona ya? Kalian pacaran?" Tanya Kara. Lona menggeleng cepat, ketika ditanya Kara.
"Dia?" Tanya Novel, kemudian tertawa. "Gue aja ga kenal." Terusnya. Deg, dada Lona seperti dihantam batu besar.
"Lagian...." Lona menatap Novel yang belum selesai berbicara. "Tipe gue ga kek gini, culun." Terusnya.
Lona menahan diri untuk tidak menangis, dia tidak percaya dengan perkataan Gema sahabat baiknya. Oke jika dia memang tidak suka dengan Lona, setidaknya dia tidak menghinanya bukan. Kara tau Lona pasti tersinggung berat dengan ucapan Novel.
"Jangan ngomong gitu lah," tegur Kara.
"Terserah gue." Balas Novel, merasa sudah muak dengan sikap Novel. Lona berjalan cepat menyingkir dari sana, dia air matanya sudah luruh.
Dari jauh, dia masih mendengar suara Kara dan Novel masih berbicara samar. Lona masih berlari menjauh menuju keluar sekolahan sebelum menjadi perhatian banyak siswa-siswi karena menangis. Sesampainya di halte, Lona memegang dadanya. Kenapa Gemanya berubah secepat itu. Tadi dia sangat baik dan manis padanya, tetapi setelah pulang sekolah dia menjadi sarkas seperti bukan Gema. Lona mulai berpikir jika dirinya ada salah dengan Gema.
Ketika tak sadar dia melamun, tiba-tiba ada motor yang berhenti didepannya. Cowok yang mengenakan helm full face itu membuka kaca helm nya, kemudian menatap Lona. Lona terkejut karena dia adalah Gema, cowok itu masih sama dengan penampilan badboy.
"Lo temennya Gema?" Tanyanya. Lona tidak mengerti apa yang Gema katakan ini. Dia hanya mengangguk pelan.
"Oh, naik!" Pintanya pada Lona, Lona terkejut.
"Eh."
"Naik atau gue berubah pikiran." Lona langsung naik, masih dengan keanehan. Cowok didepan Lona meliriknya melalui kaca spion.
"Jangan kaget kalo liat gue kayak gini, dan jangan panggil gue Gema kalo gue lagi beda sama dia." Ujarnya, Lona tidak mengerti dengan ucapan Gema barusan.
"Gema, aku ga ngerti." Ujar Lona. Cowok didepannya itu berdecak.
"Panggil gue Novel." Novel menutup kaca helmnya kemudian melajukan motornya dengan cepat. Membuat lona hampir saja tersentak kebelakang, jika saja dia tidak refleks berpegangan pada sragam osis Novel.
Novel melirik wajah Lona dari kaca spion, tak sadar dia tersenyum tipis melihat wajah Lona.
Lucu, pentes Gema pengen balik. Batinnya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
MAVEL- Behind the Two Devils
Roman pour AdolescentsBagaimana jika Gema tidak bertemu kembali dengan Lona. Akankah dia mengetahui rahasia tentang dirinya. Ya, rahasia tentang dirinya sendiri. Gema dan Novel saling berkaitan tetapi tidak saling mengenal. Bagaimanakah dengan Lona? Gadis yang akan terj...