3

1.2K 227 55
                                    

"Pulang aja, Kak. Aku nggak papa kok."

Hinata mengangkat wajahnya dan menatap sengit sang adik yang kini duduk bersandar pada kepala ranjang yang telah ditegakkan. Dipandanginya Hanabi Hyuuga dengan tatapan galak seraya berkata, "Ngapain kamu nyuruh-nyuruh Kakak pulang? Udah bikin khawatir kayak gini—"

"You're not even here," sela Hanabi cepat. "Pikiran kamu bahkan nggak di sini, Kak. I know." Hanabi mengangguk-angguk, dan mengamati wajah sembap sang kakak dengan teliti.

"Jangan sok tau deh," elak Hinata sembari berusaha menormalkan raut wajahnya yang sempat tercengang mendengar ucapan gadis berusia enambelas tahun itu.

"Bertengkar lagi dengan Kak Kiba?" tebak Hanabi tepat sasaran-seakan tahu betul alasan di balik sikap Hinata yang terlalu gelisah saat ini.

"Nggak."

"Your eyes can't lie, you know?" Hanabi terkekeh pelan. "Udah, mending kamu pulang dan temuin pacar kamu yang super ambekan itu. Aku udah baik-baik aja. Papa dan Mama juga bakal balik bentar lagi."

"Hana-"

"Besok baru ke sini lagi, oke?" Hanabi menukas dengan cepat, lalu melakukan gestur tangan mengusir dan membuat Hinata mendengkus keras.

"Dasar adik nggak tau terima kasih," cibir Hinata sambil bangkit berdiri dari kursi di sebelah ranjang. "Aku pulang dulu kalau gitu. Kamu jangan nakal, jangan banyak gerak kalau nggak mau bikin tulang kamu yang lain patah juga," cerocosnya seraya melirik pergelangan kaki kiri Hanabi yang dipasangi gips, lalu mengulurkan tangan untuk mengacak rambut kecoklatan gadis remaja itu.

"Iya-iya. Cerewet banget sih."

Hinata sekali lagi mendengkus sebelum berbalik dan melenggang pergi meninggalkan adiknya yang terlalu banyak gaya itu. Kendati demikian, apa yang dikatakan Hanabi memang benar. Walaupun tubuhnya berada di sana, tetapi hati dan pikirannya kini hanya berfokus pada satu hal, atau lebih tepatnya ... seseorang.

Usai menutup pintu ruang rawat, Hinata kemudian mengernyit kala pandangan matanya menemukan Naruto yang tengah duduk di kursi koridor rumah sakit.

"Kamu belum pulang?" tanya Hinata terkejut dan membuat pria itu sigap berdiri.

Naruto berdeham cepat dan menjawab, "Saya menunggu Nona."

Mendengar hal itu, Hinata hanya menghela napas berat. "Ini udah subuh, loh, dan seingat aku, aku nggak nyuruh kamu nunggu," ucapnya sembari melanjutkan langkah menyusuri koridor diikuti oleh Naruto.

"Iya, Nona."

"Kamu beli apa?" Hinata kembali bertanya saat melihat pengawal pirangnya itu sedang menenteng sebuah plastik putih kecil di sebelah tangan.

"Ini ...." Sesaat, Naruto terlihat sedikit ragu untuk melanjutkan. "Untuk Anda, Nona," sambungnya pada akhirnya-menyodorkan plastik tersebut kepada Hinata.

"Buat aku?" Dahi Hinata mengerut bingung, tetapi tetap menerima benda tersebut dan membukanya. Melihat isinya, kedua mata Hinata kontan mengerjap berulangkali sambil berujar, "Loh, aku juga nggak nyuruh kamu beli salep—"

"Tapi Anda memerlukannya," potong Naruto cepat, melirik sekilas pergelangan tangan Hinata yang kini mulai membiru.

Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya Naruto mengumpat, atau bahkan menerjang ke tempat kekasih majikannya itu untuk apa yang telah pria itu lakukan pada Hinata. Namun, akal sehat Naruto jelas menentang hal tersebut-mengingat posisinya yang tidak lebih dari sebatas pengawal Hinata.

"Kamu ...." Hinata terdiam seraya mengangkat pergelangan tangannya dan melihat jejak kebiruan itu di sana. Langkah kakinya pun telah berhenti, sedangkan matanya mulai beralih menatap Naruto dengan saksama. "Aku tuh heran, tau nggak? Kok bisa ya ada orang sepeka kamu?" Hinata menggeleng pelan, kemudian tersenyum kecil sambil menepuk lengan Naruto yang tak lagi dibalut kain kemeja. "Makasih ya, Nar, karena udah selalu ada buat aku, meskipun aku ini nyebelin."

To Be With You [NaruHina]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang