Sore ini, Hinata memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya dan mengikuti makan malam bersama yang menjadi ritual rutin setiap akhir bulan. Jangan tanyakan siapa yang mencanangkan ketentuan tersebut, karena sosok tersebut sudah pasti adalah sang Mama—Hikari Hyuuga—yang kerap mengeluh mengenai kesibukan Hinata dan jarangnya kesempatan mereka untuk bisa berkumpul lengkap sebagai sebuah keluarga.
Hinata sempat menolak gagasan tersebut, mengatakan bahwa kewajiban seperti itu tidak semestinya diterapkan. Namun, Hikari mengancam akan memaksa putri sulungnya itu untuk tinggal kembali di rumah ketimbang di apartemen jika sampai tidak menurut. Alhasil, Hinata pun memilih patuh.
Sudah setahun lamanya Hinata tinggal di apartemen sendiri dan menemukan keyamanan serta kebebasannya sebagai wanita dewasa, jadi tentu saja Ia akan mengupayakan apa pun untuk mempertahankan apa yang sudah dimilikinya—termasuk jika harus meluangkan waktu setiap akhir bulan.
Sebenarnya, tanpa menunggu agenda tetap itu pun, mereka sudah pasti akan sesekali berkumpul karena Hinata memang akan menyambangi rumahnya di waktu-waktu kosong tertentu untuk sekadar mengganggu orang tuanya maupun mengganggu ketenangan sang adik maha tengil. Hanya saja, Hikari belum puas dengan pertemuan yang intensitasnya memang masih sangat rendah itu.
"Kamu nggak nginep di sana, 'kan?"
Pandangan mata Hinata berpindah kepada Kiba yang sedang mengemudi di sampingnya. "Nggak, kok."
"Trus ntar pulangnya sama siapa?" Kiba kembali bertanya. "Aku jemput aja, ya? Atau aku ikutan makan malam sama keluarga kamu, boleh?"
Hinata spontan mengernyit. "Ngapain?"
"Ya, cuma pengen makan malam bareng kalian aja. Toh udah lama aku nggak ketemu Papa Mama kamu."
"Kamu pengen ngelamar aku ya, Sayang?" tanya Hinata menggoda pria itu, yang kemudian membuat sang kekasih tertawa pelan.
Menggenggam sebelah tangan Hinata di atas paha wanita itu, Kiba lalu berujar tenang, "Emang kamu udah siap aku lamar? Kalo iya, aku bakalan ngomong sama Papa Mama aku."
Untaian kalimat Kiba tentu saja mengejutkan Hinata. Ia lalu melotot dan berkata, "Kamu kalo bercanda jangan kelewatan gini, dong."
"Loh, aku nggak bercanda, Sayang," kata Kiba mengangkat tangan Hinata untuk dikecupnya sekilas. Ketika mobil yang dikemudikannya berhenti di persimpangan lampu merah, Ia menoleh sepenuhnya. "Aku serius pengen nikahin kamu."
"Biar bisa puas gaulin aku, ya?" canda Hinata.
"Kamu otaknya ke sana mulu."
"Kayak kamu nggak aja." Hinata mencebik pelan. "Kamu beneran mau ikut makan malam?" lanjutnya bertanya.
"Kalo kamu ngizinin, aku ikut."
Usai berpikir cepat, Hinata pun mengangguk. Benar, Kiba memang sudah cukup lama tidak bertemu dengan Papa dan Mamanya. "Boleh, deh," jawab Hinata kemudian.
"Boleh aku lamar juga?"
"Nggak."
"Loh?"
"Kamu sadar nggak sih kalo kita tuh masih muda banget?" Hinata bertanya setengah menggerutu.
"Sadar, lalu salahnya di mana?" tanya Kiba balik seraya kembali melajukan mobilnya—membelah jalanan kota di suasana petang yang cukup padat.
"Aku belum siap, Kiba," jawab Hinata tersenyum tipis. "Masih banyak hal yang perlu aku capai sebelum mutusin untuk nikah."
"Hal apa lagi? Karier kamu udah bagus banget. Sekarang siapa sih yang nggak kenal pacar aku yang super cantik dan seksi ini?"
Usai tergelak sesaat, Hinata berujar, "Kalo kamu kayak gini, kamu jadi keliatan udah siap dan niat banget buat nikahin aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be With You [NaruHina]
FanfictionDiputuskan oleh sang kekasih dan patah hati untuk pertama kalinya berhasil membuat Hinata Hyuuga nyaris gila, atau bahkan gadis itu memang sudah gila sehingga menjadikan Naruto Uzumaki-pengawal pribadinya-sebagai pelarian sementara. DISCLAIMER: Selu...