Sudah hampir satu jam berlalu sejak Hinata masuk dan mengurung diri di dalam kamar, sedangkan Naruto hanya duduk diam di sofa ruang tengah apartemen milik wanita itu untuk menunggu. Benar, Ia bisa saja pulang dan meninggalkan Hinata seorang diri. Toh, hati majikannya itu bukanlah urusannya dalam kapasitas seorang pengawal.
Akan tetapi, sebagai seorang manusia yang memiliki kepedulian, terlebih kepada seorang wanita yang disukainya, Naruto memutuskan untuk tetap bertahan. Itu lebih baik daripada Ia pulang dan dilanda kecemasan terhadap apa saja yang bisa dilakukan oleh wanita yang sedang patah hati seperti Hinata saat ini.
Seraya menunggu Hinata selesai merana, Naruto tidak bisa tidak mengingat kejadian mengejutkan yang terjadi di basement. Tanpa pertengkaran berarti, Kiba datang untuk memutuskan hubungannya dengan Hinata secara tiba-tiba dan tak segan-segan untuk mengucapkan banyak sekali kalimat kejam yang berhasil membuat Naruto lepas kendali.
Sungguh, Naruto sendiri pun tidak menyangka bahwa Ia akan melakukan hal seperti itu. Padahal biasanya, Ia mampu mengendalikan emosinya dengan sangat baik. Kendati demikian, Naruto juga sama sekali tidak menyesali perbuatannya.
Bagaimanapun juga, Kiba pantas menerima pukulan tersebut. Dan sepertinya pria brengsek satu itu cukup sadar, sehingga tidak melakukan apa pun untuk membalas Naruto selain memberinya tatapan tajam dan pergi begitu saja.
Naruto juga masih merasa bingung. Di satu sisi, Ia merasa bahagia karena akhirnya sang pujaan hati terbebas dari hubungan tidak sehat yang telah berjalan bertahun-tahun, tetapi di satu sisi, Ia pun tidak sanggup jika harus melihat Hinata terluka seperti saat ini.
Ketika akhirnya pintu kamar wanita itu terbuka, Naruto segera bangkit berdiri. Dilihatnya Hinata masih mengenakan gaun selutut yang sejak tadi wanita itu kenakan sepulang dari gedung acara, dan wajah cantik itu ... terlihat sembap. Tentu saja, walaupun tidak ada lagi air mata yang mengalir di sana.
"Kamu belum pulang?" tanya Hinata sedikit serak.
Naruto menggeleng.
"Kamu pulang aja. Istirahat sana." Hinata melanjutkan langkahnya menuju dapur kecil nan minimalis kesayangannya. Membuka kulkas, Ia mengeluarkan sebotol anggur merah dari sana dan mengambil sebuah gelas dari salah satu lemari kabinet yang menggantung. "Aku baik-baik aja, in case itu yang buat kamu bertahan di sini," sambungnya terdengar santai, berjalan melewati Naruto begitu saja dan duduk di sofa berbentuk L yang tadi diduduki oleh pria itu.
"Nona mau minum?" tanya Naruto mengernyit.
"Iya," jawab Hinata sembari menuangkan minuman tersebut ke dalam gelas, menghidu aromanya untuk sesaat dan mulai menyesap perlahan tanpa memedulikan Naruto yang masih berdiri di dekatnya dan mengamati dalam keheningan.
Mungkin pria itu akan membiarkannya menikmati patah hatinya malam ini sembari menenggak satu dua gelas, tetapi sialnya, Hinata sedang tidak ingin menahan diri. Ia akan memuaskan dirinya sendiri malam ini.
"Aku mau kita putus."
Mengingat kalimat yang dilemparkan Kiba tanpa aba-aba membuat sebuah kekehan parau lolos begitu saja dari bibir Hinata. Tiga tahun menjalin kasih ternyata tidak cukup untuk menjamin bahwa mereka akan sampai ke jenjang yang lebih serius.
Hinata sebagai seorang aktris yang terlahir dari sebuah keluarga terpandang dan terbiasa mendapatkan keinginannya, terluka berat akan pemutusan sepihak yang dilakukan oleh sang mantan, terlebih hanya karena alasan bosan.
"Nona, Anda tidak boleh minum—"
"Bisa diem nggak?" Hinata menukas cepat seraya mengangkat wajahnya ke atas, tepat ke arah pria pirang yang hanya menatapnya datar. "Aku tuh lagi patah hati. Butuh pengalihan."
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be With You [NaruHina]
FanfictionDiputuskan oleh sang kekasih dan patah hati untuk pertama kalinya berhasil membuat Hinata Hyuuga nyaris gila, atau bahkan gadis itu memang sudah gila sehingga menjadikan Naruto Uzumaki-pengawal pribadinya-sebagai pelarian sementara. DISCLAIMER: Selu...