"Kamu kenapa nggak nginep sini aja, hm?" tanya Mama masih dengan wajah keberatan.
Sejak tadi, Mama memang berkali-kali berusaha meyakinkan Hinata agar mau menginap. Namun, berkali-kali pula Hinata menolak.
Wanita itu hanya bisa menghela napas panjang sembari menaruh kembali cangkir tehnya di atas meja. "Aku udah bilang, 'kan? Besok pagi aku harus keluar kota, Ma," dustanya lagi, karena sebenarnya, jadwal syutingnya di luar kota tersebut baru akan dilaksanakan lusa.
"Katanya mau break dulu."
"Iya, tapi proyek iklan ini udah aku ambil dari lama, Ma. Nggak bisa dibatalin," jelas Hinata menyandarkan punggungnya pada sofa, berusaha bersabar menunggu kepulangan Papa dan Naruto yang pergi setelah makan malam.
Iya, kedua pria itu benar-benar pergi dengan tujuan 'ngopi', katanya. Dan Hinata tidak bisa tidak menggerutu sebal. Menurutnya, Papa ataupun Mama tidak semestinya ikut campur dalam urusan pribadi Naruto yang jelas-jelas bukan ranah mereka, sama seperti dirinya yang tidak pernah melakukan hal tersebut selama tujuh tahun belakangan ini.
Hinata sama sekali tidak pernah benar-benar berusaha menggali lebih jauh informasi mengenai kehidupan pribadi sang pengawal, terlebih mengingat pria itu memasang batasan yang jelas dan seakan enggan disebut berteman dengannya. Mungkin memang ada satu dua momen di mana Hinata bertanya, tentu saja dengan selipan candaan, tetapi hanya sebatas itu.
Jika Naruto memutuskan untuk tidak menjawab, maka Hinata tidak akan memaksa, meski Ia tahu bahwa pria itu mungkin akan menuruti ucapannya.
"Kamu kayak banyak pikiran," celetuk Mama yang kembali meraih atensi Hinata. "Kamu dan Kiba baik-baik aja, 'kan?"
Untuk beberapa detik, Hinata termangu. Tatapan penuh harap dari Mama selalu berhasil membuatnya bungkam—menyimpan semuanya sendiri ketimbang memberitahu wanita kesayangannya itu bahwa Ia sudah lama berlarut-larut dalam kebodohan yang sama menanti perubahan dari diri Kiba yang tak kunjung datang.
Daripada jujur dan membuat kecemasan Mama semakin menjadi-jadi, seperti biasa, Hinata memilih untuk berbohong. "Kami baik-baik aja kok, Ma," ucapnya tersenyum cukup lebar, berharap Mama tidak akan menaruh curiga padanya. "Cuma ya ... gitu. Kami lagi sama-sama sibuk aja. Kurang komunikasi."
"Syukurlah." Mama balas tersenyum, terlihat lega. "Udah bener kamu break dulu. Kamu bahkan jarang ada waktu buat Mama dan Papa, jangan sampai kamu gitu juga sama Kiba."
"Iya, Ma," balas Hinata lembut, lalu mendesah pelan usai mendengar bunyi gerbang yang dibuka, disusul dengan bunyi mesin mobil yang datang dan berhenti di halaman rumah.
Itu pasti Naruto. Akhirnya.
Sesegera mungkin Hinata bangkit berdiri setelah meminum tehnya hingga tandas. "Aku pulang dulu ya, Ma."
"Kamu yakin nggak mau nginep?" tawar Mama—tetap tidak menyerah.
"Ma, Mama udah nanya yang keseratus kali loh ini." Hinata mendengkus malas, kemudian melangkah untuk memeluk Mama erat-erat. "Udah, ya. Hinata pulang dulu. Mama istirahat yang banyak. Bilang sama Papa jangan ngegas sepanjang malam," sambungnya yang dihadiahi toyoran di kepala oleh Mama.
"Mulut kamu nih bener-bener," Mama menggerutu sebal, mengikuti Hinata yang kini berjalan menuju pintu depan.
Langkah keduanya kemudian terhenti kala pintu utama rumah mereka terbuka oleh Papa, dan Naruto masih senantiasa berdiri di belakangnya.
"Wah, udah selesai nih pengenalannya?" tanya Hinata. "Gimana? Cocok, Nar? Pengen langsung di-gas aja?"
"Ma, ini anak siapa, sih?" tanya Papa tertawa geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be With You [NaruHina]
FanfictionDiputuskan oleh sang kekasih dan patah hati untuk pertama kalinya berhasil membuat Hinata Hyuuga nyaris gila, atau bahkan gadis itu memang sudah gila sehingga menjadikan Naruto Uzumaki-pengawal pribadinya-sebagai pelarian sementara. DISCLAIMER: Selu...