12

1.2K 251 119
                                    

Pertahanan pria mana yang tidak akan runtuh jika diuji secara bertubi-tubi?

Naruto berulangkali menggumamkan pertanyaan tersebut di dalam kepalanya saat Ia dengan kesadaran penuh membalas ciuman Hinata usai mengenyahkan keterkejutannya. Demi Tuhan, Ia hanyalah seorang manusia biasa. Seorang pria biasa yang rentan akan godaan, terlebih di dalam situasi ini, sosok yang melemparkan godaan tersebut merupakan wanita yang dicintainya.

Naruto telah bersusah payah menolak satu kali, mengembalikan kewarasannya secepat mungkin agar tidak kebablasan. Namun, Hinata kembali berhasil mengikis akal sehatnya, lagi.

Dan kini, Naruto yang telah nyaris frustrasi, akhirnya memberi Hinata apa yang wanita itu mau, dan juga apa yang dirinya sendiri inginkan selama ini.

Cuma ciuman, pikir Naruto ketika Ia mendorong Hinata agar merebah di atas ranjang dan memposisikan dirinya di atas Hinata.

Dibalasnya lumatan bibir Hinata, bahkan lebih keras dan dalam untuk memberitahu wanita itu betapa frustrasinya Ia malam ini. Sebelah tangannya terangkat dan mengusap pipi Hinata sementara lidahnya sudah bergerak lincah, menyusup masuk dan membelai rongga mulut hangat itu.

Bertahun-tahun Naruto bersabar, dan menurutnya, satu ciuman ini sudah lebih dari cukup untuk menuntaskan sedikit dari penantiannya.

Satu kesempatan ini ... Naruto memutuskan untuk mengambilnya sebaik mungkin.

Tidak apa-apa. Hanya ciuman.

Dia mungkin akan berhenti sebentar lagi sebelum terlalu jauh, tetapi sekarang ... biarlah dia menikmatinya. Toh, ciuman bibir merupakan hal yang sedikit lebih lazim dari apa yang terjadi di sofa sebelumnya, dan sepertinya tidak apa-apa untuk memberi sedikit kelonggaran.

Rasa Hinata ... semenyenangkan yang Naruto bayangkan selama ini. Bibir wanita itu kenyal nan manis, mengalirkan sensasi yang membuat Naruto candu seketika. Ia seakan tak ingin berhenti melumat, memagut keras dan mencecap. Satu tangannya yang lain beralih meraih tangan Hinata, menyusupkan jemarinya di sela-sela jari wanita itu untuk menggenggam dan menekannya ke ranjang.

Naruto baru menjauh ketika Ia merasakan dorongan pelan di dadanya, yang membuatnya menyudahi pagutan dan mengangkat wajah untuk menciptakan sedikit jarak. Napas hangatnya berembus menerpa wajah Hinata, sementara pandangannya jatuh mengamati kedua mata jernih wanita itu.

"Nar," cicit Hinata serak dan terengah pelan.

Dan jika Naruto tidak salah mengertikan, Ia bisa melihat keterkejutan, juga ... kengerian di tatapan mata Hinata. Tentu saja, Naruto tidak perlu menjadi seorang jenius untuk menebak alasan di baliknya. Ia sedikit banyak bisa mengerti mengapa wanita itu menatapnya sedemikian rupa.

"Kamu ... beneran—"

"Bagi saya, sebuah ciuman bukanlah alat untuk memastikan perasaan seseorang," Naruto menukas cepat tanpa mengubah posisi mereka. Wajahnya yang hanya berjarak beberapa inci dari Hinata lantas mengukir raut sedatar mungkin, tetapi tetap menunjukkan keseriusan demi meyakinkan wanita itu untuk percaya pada kebohongannya. "Ciuman, atau bahkan seks sekalipun, bisa saja terjadi di antara dua orang dewasa yang tidak saling mencintai. Sama seperti yang tadi terjadi di sofa, di mana saya sempat lengah dan membiarkannya terus berlanjut. Semua itu ... semata-mata karena saya merupakan seorang pria dewasa yang normal."

Sungguh, apa pun akan Naruto katakan agar bisa menutupi perasaannya. Hal tersebut jauh lebih baik daripada harus jujur dan mungkin hanya akan membuat Hinata menjauh pasca membuktikan kecurigaan Kiba yang benar adanya.

Hinata terdiam dengan bibir yang mengatup rapat. Dahinya juga ikut membentuk kernyitan samar ketika berusaha menilai kesungguhan perkataan Naruto yang memang hampir serupa dengan pendapatnya. "Aku tau, tapi nggak tau kenapa, cara kamu cium aku tadi tuh kayak—"

To Be With You [NaruHina]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang