Mas Wahyu

15 1 0
                                    

Kerutan dahiku memekar. Tak ada kedip yang bisa kukeluarkan dari mata ini. Perasaan menyetrum yang menyambar dari belakang perut menuju leherku memberiku rasa hangat secara singkat.

Aneh rasanya namun rasa risau hingga takut kepadanya seakan hilang.

Serangkaian reaksi berujung pada rasa sesak di dada disertai degup jantung yang meningkat.

Jauh dibawah alam sadarku, sesaat terpikirkan bahwa aku adalah orang yang tidak cukup pintar dalam bersyukur. Malu ku terbebas dari kandangnya.

"di-dia ngagumin gue apa gimana ini?!"

Aku bingung harus bereaksi apa dengan hal itu. Ini sangatlah mendadak, namun cukup jujur. Sekarang aku merasa sedikit bersalah, walau tetap saja aku sangat sangat bingung.

Aku memalingkan wajahku darinya. Terlihat dia sedang menyeka matanya dengan jaket yang ia bawa. Turut, dia pun memalingkan wajahnya dan kembali memandang papan tulis kosong.

Aku merasa berhutang penjelasan kepadanya, tapi baik pikiranku maupun badanku tidak tergerak untuk melakukannya. Sungguh rumit bagiku.

Namun apa apaan itu? Aku hanya lupa dengan materi yang lalu, mengapa dia menuntut diriku untuk dapat mengerjakannya dengan lancar? Nilainya memang tinggi, tapi ini baru hari pertama, tidak seharusnya dia terlalu terpengaruh oleh itu.

Tapi, mungkin dia benar.

Kebingunganku pudar, namun kegundahan ini terus mengganggu.

Kelas terus berlanjut dari jam ke jam, guru ke guru, hingga bel pulang berbunyi. Aku tidak banyak melakukan apa apa sejak dia berkata demikian. Hanya kecanggungan yang kurasa.

Aku bergegas menuju pagar sekolah setelahnya, serta mengambil barang titipan di pos penjaga sekolah. Ibuku memesan kain kepada istri penjaga sekolah disini. Aku tidak mengenalnya, namun saat mereka berdua dan berbincang, rasanya mereka sudah seperti bersaudara.

Hari ini aku pulang sendirian. Walau banyak teman seangkatanku yang satu arah dengan rumahku, tetap saja aku tidak mengenal mereka. Aku lebih mengenal beberapa nama tukang angkot yang biasa ku tumpangi dibanding anak di sekolahku.

Seperti beliau yang kutumpangi sekarang, bang Wahyu. Kami mengenal satu sama lain karena aku pernah tertidur dan melewati pemberhentianku hingga 4 kilometer jauhnya, namun aku enggan mengingat kejadian setelahnya karena merupakan kecanggungan selama 20 menit.

Dan ya, kami cukup mengenal satu sama lain.

"ngetem dulu ya den 5 menit ae"

"ah iya iya"

"eh sekarang ni kau dah naik kelas bukan? Enak gak kelas baru?"

"belom kenalan bang, males, mana lam tadi mbolos"

"kau sekelas ama lam? Tapi dah ada temen ngobrol belom? Sedih amat dah lu ah"

"iye bang, boro boro ngobrol yang ada tadi diomelin cewek, sampe digebrak mejaku"

"belom kenal dah diomelin, lah buset anak muda, jodoh mah jodoh dah lu. Eh iya lah buset dah mau lulus baru inget lu jomblo ae lu perasaan, bawa kek cewe lu kemari"

"lulus mah masih lama, tapi justru karena mau lulus 'ku ni males nyari cewe, kalo punya juga naiknya gocar bukan angkot ngehehe"

"sialan"

Sesaat segerombolan anak dari sekolahku ikut masuk kedalam angkot. Karena aku duduk di bangku depan, aku tidak perlu repot menatapi atau ditatapi mereka.

Satu satu kuperhatikan lewat cermin spion tengah, setengah dari mereka tidak kukenali. "tumben amat ketua ekskul paskibra sama ketua osis seangkot, kirain lagi berantem"

Angkot pun mulai berjalan.

Disaat 5 menit pertama perjalanan, selalu kugunakan waktu sebaik mungkin untuk menghirup udara segar, karena setelahnya yang dapat kuhirup hanyalah asap kendaraan, rokok, hingga solar.

Berlarut larut, angkot melewati rumah lam. Terlihat rumahnya sangat sepi dibanding biasanya. Yang kumaksud sepi adalah lampu depan yang mati, jemuran yang kosong, hingga pagar tertutup rapat. Mungkin mereka pergi.

Dalam kesepian sesaat ini, aku mulai memahami betapa beruntungnya aku kenal dengan lam. Diluar fungsinya sebagai pembantu ku dalam ekskul, dia selalu menemaniku.

Karena lam lah karirku di smp dapat terdengar banyak orang.

Hatsukoi | Lovey Dovey FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang