Bab 8

13 3 0
                                    

Bukan kehidupan namanya jika tak ada sesuatu yang harus dikorbankan.

Alensha menyadari bahwa tidak semua keinginan itu berpihak pada diri. Bahkan menyalahkan diri sendiri adalah salah satu cara yang tidak berguna.

Di dalam ruangan bernuansa abu-abu Alensha merebahkan badan. Pikirannya masih berkecamuk mengingat apa yang telah terjadi semalam.

Sesekali Alensha menatap sebuah foto berbaju putih dengan corak berwana biru dan didampingi seorang laki-laki dengan baju merah yang tidak terlalu mencolok. Ya, foto itu adalah kenangan bersama Alfan beberapa hari yang lalu. Tingkah laku Alfan teringat jelas di dalam lamunan itu, sangat munafik jika Alensha tak mengakui Alfan di dalam sanubarinya.

Foto itu terlihat biasa saja tapi bagi Alensha foto itu memiliki makna tertentu yang begitu dalam, bahkan ketika foto itu hilang bisa saja Alensha mengalami kesedihan yang panjang karena itu adalah one and only.

Alensha menghela napas panjang, bagaimana pun dia harus tetap pada pendirian. Namun yang menjadi masalah adalah Alensha belum sepenuhnya merasa lega berpisah dengan Alfan. Alensha selalu berharap bisa berteman baik dengan Alfan karena Alensha tahu bahwa laki-laki yang sudah ditolak tak akan memberanikan diri untuk berteman seperti sebelumnya.

"Hai hai hai Alenshaaa." Ucap Lisi di ambang pintu kamar.

Tak hanya Lisi, tapi ditemani Viska.

"Hai." Jawab Alensha seraya bangun dari tidurnya.

"Lo tidur?" Sahut Viska.

"Nggak." Jawab Alensha.

"Bohong, kentara banget mata lo berkaca kaca gitu, kayak orang nguap seratus kali."

Alensha hanya tersenyum, ia juga bingung harus menanggapi bagaimana, mana mungkin juga Alensha mengatakan kalau ini semua karena selalu merenung mengenai kenangan bersama Alfan.

Tanpa disuruh pun kedua perempuan ini sudah berada di atas kasur. Lisi telungkup sembari membaca buku yang selama ini menjadi panutannya, jangan heran ketika Lisi tiba-tiba menjadi motivator karena ia mempunyai sumber. Sedangkan Viska duduk bersila menghadap ke Alensha.

"Kok bisa kesini?" Tanya Alensha karena kedua sahabatnya tak mengabarinya lebih dahulu.

"Lewat pintu." Jawab Lisi dengan mata yang masih tertuju pada buku.

"Maksud gue kenapa gak ngabarin dulu?"

"Emang salah?" Tanya Lisi masih fokus dengan buku tapi telinganya masih berfungsi dengan baik.

"Banget."

"Sialan nih anak udah di kasi surprise malah marah marah." Kali ini Lisi menatap Alensha.

"Surprise apa Lis? Kenapa lo gak ngomong lo bawa surprise?" Tanya Viska.

"Lelet bener nih anak, lo sama gue datang tiba tiba, itu bukan surprise namanya?" Tanya Lisi pada Viska.

"Iya juga sih." Viska cengengesan.

"Len, lo udah makan belum?" Tanya Lisi to the point karena pulang sekolah tadi hanya ganti baju dan tidak menyempatkan makan siang di rumahnya.

"Belum."

"Lo gak ada niatan makan?

"Ada sih tapi ntar aja deh."

"Jangan nunda nunda lapar, penyakit maag itu bahaya lo." Lisi menasehati.

"Lebih bahaya lagi masuk di dapur gue." Ucap Alensha cengengesan.

"Bahaya kenapa?" Lisi penasaran.

"Sebenarnya gak bahaya sih kalau kalian berdua gak masuk."

"Astaga Alensha! Lo anggap gue sama Viska apaan?"

Hidden BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang