; rose and the unknown letter

24 7 3
                                    

.

Setelah dipikir-pikir mengapa juga ia mengiyakan ajakan Gwi Jae untuk ikut mencari masalah ini? Alasannya? Karena perempuan itu tak mau Seung Hwan terlibat masalah. Sesimple itu alasannya. Dia hanya mempunyai Seung Hwan sekarang. Kakaknya telah menghilang sejak 10 tahun yang lalu bersamaan dengan hilangnya ayah Seung Hwan—besar kemungkinan kalau mereka telah tiada sekarang—karena perasaan senasib itulah yang membuat mereka saling berjanji untuk menjaga satu sama lain.

Bagaimanapun juga, Hye Ryeon telah menganggap Seung Hwan sebagai saudaranya sendiri. Maka dari itu juga dia berani mengambil keputusan ini.

Memang gila jika dipikir-pikir karena masalah ini melibatkan nyawanya sendiri, namun ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur.

Seperti sekarang, dia berada di ruang kerja Gwi Jae yang penuh dengan aroma obat-obatan. Beberapa berkas terlihat berserakan di meja kerjanya, namun selain itu seluruh ruangannya rapi dan bersih. Sangat berbeda dengan ruangan Seung Hwan yang pernah Hye Yeon kunjungi.

"Apa kau sudah tak apa?" gadis itu memulai obrolan sambil melihat lihat hiasan yang berada di meja panjang di depannya itu.

Reaksi yang diberikan justru berlainan, Gwi Jae balik bertanya, "Kenapa?" satu alisnya diangkat.

"Aku pikir kau harus beristirahat setelah terbaring lemah tadi, bukannya bekerja karena wajah kau masih terlihat pucat."

Gwi Jae memalingkan wajah. "Tak apa, ada yang lebih penting daripada kesehatanku sekarang."

Apa dia sudah gila? Maksud Hye Yeon, orang waras mana yang dengan entengnya bilang seperti itu ketika dia sendiri masih belum sehat sepenuhnya? Hye Yeon memutar mata lalu mendecih pelan.

"Permisi, jika kau benar-benar sudah sehat aku harus kembali bekerja. Kalau kau lupa, aku adalah pegawai di kedai ayam dekat rumah sakit di sini."

"Kemarilah, ada yang ingin aku tunjukkan."

Pria ini mengacuhkan perkataannya? Wah, rasanya kesabaran Hye Yeon sudah mencapai puncak. Dengan senyum yang dipaksakan, Hye Yeon sengaja melangkahkan kakinya ke permukaan lantai dengan keras, kemudian menunduk pelan untuk melihat apa yang pria itu pegang di depan lemari berkayu coklat.

"Bukankah sudah jelas kalau itu bunga mawar?" Hye Yeon menyipitkan mata lalu menatap sang empu yang terlihat kebingungan.

"Baca surat ini." jemarinya menyodorkan selembar kertas yang diterima oleh Hye Yeon.

Hye Yeon mendesah pelan, diam-diam melirik Gwi Jae sebal. "Gwi. Bukankah itu namamu?"

"Lebih tepatnya nama vampir yang hidup di zaman Goryeo dahulu."

"Namanya... mirip denganmu."

Gwi Jae mengangguk. "Aku menemukan ini ketika kembali dari rumah sakit pekan lalu. Lebih tepatnya ada orang yang meletakkan ini di dalam ruanganku setelah aku kembali dari museum."

"Aku tak pernah meletakkan bunga mawar dan surat ini di lemari." Gwi Jae bangkit dari jongkoknya lalu menatap Hye Yeon lamat-lamat.

"Lalu apa hubungannya denganku?" kini gadis itu merasa dongkol karena Gwi Jae selalu berbelit-belit untuk mengucapkannya.

"Dalam mimpiku, aku membunuh seseorang."

Tubuh Hye Yeon menegang, tiba-tiba jantungnya berdegup dengan cepat.

"Aku membunuhnya di bagian ini." Gwi Jae menunjuk leher bagian kiri Hye Yeon, yang semakin membuat perasaan Hye Yeon campur aduk. Ada apa ini?

"Namun setelah membunuhnya, aku menangis." Gwi Jae tertawa hambar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CRIMSON : Echoes Of The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang