Chapter 3

135 17 0
                                    


"Hanya itu yang ditemukan dari tubuh Hiromitsu," kata Kansuke seraya menyerahkan sebuah ponsel yang sudah berlubang di tengah kepada Takaaki, "baru saja dikembalikan oleh tim forensik,"

"Aku turut berduka cita Morofushi-Kun," kata Yui.

"Setelah hidup datang kematian dan hidup itu singkat. Orang tidak bisa menghindari kematian. Kehidupan singkat kita ditakdirkan untuk berakhir..." ucap Takaaki murung seraya menatap ponsel dalam plastik tersebut.

"Komei..." Kansuke menatapnya prihatin.

"Sudah resiko petugas polisi khususnya PSB yang menyamar," ujar Takaaki sembari memejamkan matanya, tampak begitu tabah merelakan kepergian adik satu-satunya.

"Morofushi-Kun, tidakkah sebaiknya kau mengambil cuti beberapa hari?" tanya Yui.

"Tidak. Duka hanya bisa dihilangkan dengan kesibukan," tolak Takaaki.

"Kau yakin Komei?" tanya Kansuke.

"Eh," Takaaki mengangguk.

"Katakan saja kalau perlu sesuatu," kata Yui.

"Arigatou,"

Takaaki duduk di meja kerjanya setelah Kansuke dan Yui kembali ke tempat mereka masing-masing. Takaaki akhirnya mengambil handphone bolong tersebut dari plastik untuk memeriksanya. Tidak ada apa-apa selain sisa-sisa darah Hiromitsu yang sudah kering dan berwarna hitam.

Takaaki membongkar ponsel itu. Simcardnya sudah bolong, chipnya juga sudah rusak, sepertinya apapun data yang ada di dalamnya, tidak dapat terselamatkan lagi. Namun mendadak hal tersebut menarik perhatian Takaaki. Titik kecil hitam di panel handphone. Sepintas itu hanya titik-titik kecil biasa dalam perangkat handphone atau mungkin kotoran, tapi Takaaki tahu itu bukan titik biasa.

Ini... Kamera milimikron?

***

Takaaki memutuskan pulang agak cepat hari itu karena memikirkan penghuni baru di rumahnya. Sepanjang hari bertanya-tanya apakah Shiho merasa nyaman di sana, atau dia membutuhkan sesuatu. Namun betapa herannya Takaaki saat pulang dan menemukan Shiho malah sibuk di dapur.

"Ah okairi," sambut Shiho cerah saat melihat Takaaki sudah pulang.

"Kau? Sedang apa?" tanya Takaaki bingung.

"Ah aku sedang membuat makan malam," jawab Shiho ringan.

"Kau baru saja keluar dari rumah sakit, bukankah sebaiknya istirahat?"

"Aku baik-baik saja, lagipula aku tak mungkin berdiam diri saja selama menumpang tinggal di sini. Aku ingin berguna untukmu,"

"Kau tidak perlu melakukan hal ini Shiho-San,"

"Sungguh tidak apa-apa, tenang saja aku tidak akan meledakkan dapur," ujar Shiho sembari tersenyum.

"Aku bantu saja kalau begitu," Takaaki membuka jas dan melepas kancing lengan kemeja seraya menggulungnya.

"Tidak usah. Takaaki-Kun baru pulang kerja, pasti lelah,"

Takaaki tersenyum tipis sambil mencuci tangan di wastafel, "aku lama tinggal sendiri, jadi memasak bukanlah pekerjaan asing bagiku,"

Akhirnya mereka masak bersama-sama sore hari itu dan menikmati makan malam bersama di meja makan.

"Tamagoyakinya lembut sekali Shiho-San, arigatou," kata Takaaki.

"Miso supnya juga enak," Shiho balas memuji.

"Eh, aku memakai resep dari Hiromitsu. Dia juga pandai memasak,"

Shiho tampak iba, "kau merindukan adikmu?"

"Aku lebih ingin tahu, apa yang menyebabkan kematiannya,"

Shiho terdiam, tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.

"Ah gomen... tidak seharusnya aku membuat suasana menjadi tidak enak,"

Shiho menggeleng, "tidak apa-apa, aku mengerti,"

"Bagaimana keadaanmu sendiri? Apa ada ingat sesuatu?" tanya Takaaki lembut.

Shiho menggeleng lagi, "tidak ada. Aku sudah berusaha mencoba, tapi selain sakit kepala, aku tidak ingat apa pun,"

"Tidak perlu terburu-buru, mungkin sebelum itu aku sudah menemukan keluargamu,"

"Tapi..."

"Uhm?"

"Sewaktu di rumah sakit, aku kerapkali dihantui mimpi buruk,"

"Mimpi buruk?"

"Eh, mimpinya tidak jelas, tapi sepertinya ada sesuatu yang meresahkan, sesuatu yang membuatku tergesa-gesa namun aku tidak mengerti apa masalahnya..."

"Tenangkan dirimu Shiho-San. Kau aman di sini, tapi bila kau butuh bantuan terapis, katakan saja padaku,"

"Eh, arigatou."

Between BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang