Seluruh murid kaget mendengar suara itu, lalu keluar kelas untuk melihat apa yang sedang terjadi di luar. Di lantai itu sudah penuh dengan darah yang mengalir deras dari kepala Zea. Tubuhnya yang jatuh mengenaskan membuat sebagian murid-murid tak sanggup melihatnya.
Murid-murid yang sedang berkumpul sangat kaget akan kejadian tak terduga itu, Daffa, Zanita dan anggota osis lainnya langsung menerobos masuk dengan susah payah dan melihat apa yang terjadi.
Zanita menutup mulutnya tidak percaya dengan apa yang ia lihat barusan, air matanya mengalir deras Zanita tak menyangka sepupunya bisa jadi seperti ini. Begitupun juga dengan Inka.
"Ze bangun hiks..... siapa yang ngelakuin ini sama lo Ze, bangun!!" Zanita meraung tak jelas memanggil nama Zea tanpa memperdulikan tangan dan juga bajunya yang kini berlumuran darah.
"Bangsat siapa yang ngelakuin ini sama lo Ze, bangun dan jawab gue!!" kata Inka mengguncangkan tubuh Zea. Setelah menelepon ambulans Aldino kembali dan menenangkan Inka yang semakin menangis.
Semua murid diam bahkan guru-guru yang melihat itupun tidak bisa berkata-kata, keadaan tiba-tiba hening dan hanya ada suara tangisan Zanita dan Inka lalu suara Bianca dari rooftop membuat mereka melihat ke atas terlihat disana Bianca yang sedang menangis dan Aura yang hanya menatapnya tidak percaya dengan tatapan kosongnya.
"LO TEGA RA, LO TEGA SAMA TEMAN GUE! GUE NGGAK NYANGKA LO SE TEGA ITU BUAT ZEA JATUH!!"
"GUE TAHU KALAU LO NGGAK SUKA SAMA DIA KARENA DIA NGGAK SENGAJA NABRAK LO, TAPI RA ITU CUMAN MASALAH KECIL!!"
"TAPI KENAPA LO LEBIH-LEBIHIN!!" teriak Bianca lalu terduduk sambil menangis. Dia kembali berdiri memukul pelan dengan penuh dramatis lengan Bianca.
Kaget, tentu mereka sangat kaget dengan ucapan nyaring Bianca tadi. Mereka tidak menyangka Aura sangat jahat dan mendorong Zea, semua murid-murid pun mulai membicarakan Aura.
Kepala sekolah datang dan menerobos masuk ke dalam kerumunan itu. Dengan cepat Raka mengecek urat nadi gadis itu apa masih berdetak atau tidak.
"Gimana pak?" tanya Daffa.
Raka menggeleng pelan lalu menutup mata Zea yang tadi terbuka kini telah tertutup. Zanita dan Inka semakin menangis sejadi-jadinya. Kejadian ini begitu cepat, mereka masih tidak percaya dengan apa yang terjadi barusan.
"NGGAK ZE, MASIH HIDUP PAK!"
"ZEA MASIH HIDUP, DIA CUMAN PINGSAN!!"
Satrio sekuat tenaga menjauhkan Zanita dari Zea begitupun juga dengan Aldino yang memeluk Inka dan membawanya keluar dari kerumunan itu. Setelah ambulans datang, Zea langsung di bawah ke rumah gadis itu, karena sudah tidak ada harapan lagi untuk gadis itu bisa bernapas jika mereka membawanya ke rumah sakit.
Daffa dan dua anggota osis lainnya segera naik ke atas rooftop atas permintaan kepala sekolah. Daffa menaiki tangga dengan perasaan campur aduk antara tidak menyangka dengan apa yang barusan ia lihat, dan tidak menyangka bahwa pelaku orang yang mendorong Zea adalah Aura tapi dia tidak yakin dengan ucapan Bianca.
"Pasti ada yang gak beres. Gue gak percaya semua ini!"
Sampainya mereka di sana bisa mereka lihat Bianca yang sedang menangis, Aura yang hanya terdiam kaku dan terkahir Luna, Daffa kaget melihat Luna yang pingsan ternyata ada gadis itu juga di sini.
"Van, tolong lo bawa dia ke ruang UKS cepat!" titah Daffa lalu Devan langsung menggendong Luna membawanya ke ruang UKS.
Daffa dan Reki menghampiri Bianca dan Aura, Reki mengelus punggung Bianca untuk menenangkan gadis itu. Sedangkan Daffa, cowok itu terdiam menatap manik mata Aura yang seakan kosong.
"Ra--"
"Gue tahu. Lo gak percaya juga kan sama gue." ucap Aura lalu keluar dari rooftop diikuti Daffa, Reki dan Bianca di belakang menuju ruang BK.
Saat menuruni anak tangga roofop ternyata sudah banyak sekali murid-murid yang berkumpul untuk melihat Aura. Bahkan banyak sekali yang membicarakan Aura dan menganggapnya ada pembunuh.
"BANGSAT, GUE DARI DULU EMANG GAK SUKA SAMA LO!!" tegas Inka menghampiri Aura tetapi Aldino segera menahannya.
"Dasar pembunuh!" cibir salah satu murid.
Aura menatap seluruh murid yang melihatnya dengan tatapan sinis. Jujur saja, perasaannya sekarang sangat lemah dan ingin menangis tetapi air matanya seakan kering tak ingin keluar. Aura mengambil napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan, lehernya terasa sakit seperti ada yang mencekiknya.
"Sadar, Ra, sadar!!" gumamnya dengan pelan sambil memukul-mukul kepalanya. Daffa dengan cepat menghentikan aksi gadis itu.
"Ra, sadar!"
"Aura stop!!" ucap Daffa memegang kedua tangan Aura. Kini hanya ada mereka berdua di dalam lift.
Aura terduduk di lift itu lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Gue gak ngebunuh Zea, gue bukan pembunuh!!"
"Gue tau, Ra. Gue percaya sama lo," Daffa berjongkok di depan gadis itu.
"Lo bohong. Gak ada yang mau percaya sama gue, Daffa, gue cuman tikus yang sering buat masalah!!"
"Nggak, Aura. Percaya sama gue, semuanya bakal baik-baik aja, bokap lo pasti bantuin lo buat keluar dari masalah ini--"
"Lo pikir orangtua gue peduli sama gue? Lo pikir mereka bakal ngedukung gue, lo--"
"Sorry, gue gak tau tentang masalah keluarga lo." ucap Daffa meminta maaf dan memeluk Aura dari samping. Aura tidak membalas pelukannya dan hanya bisa menangis tanpa mengeluarkan suara. Namun saat lift sudah berhenti, Aura langsung berdiri dan menghapus air matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Without Telling Stories
Teen FictionBanyak yang bilang, cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya sendiri. Namun, nyatanya tidak semua anak perempuan di muka bumi ini memiliki figur tersebut, entah dalam bentuk fisik maupun psikis. Inilah yang Aura rasakan saat ini, Sekuat a...