Aura masuk ke kelasnya, semua murid di kelas memandangnya dengan diam, Aura bingung karena tidak mendengar ucapan pedas dari mulut mereka. Dia duduk di bangkunya, melewati Sheena yang tidak menatapnya. Gadis itu bingung tapi dia tidak peduli. Sheena bahkan sempat menatapnya lalu terkekeh kecil.
"Yang namanya pembunuh, tuh gak usah di kasihani!"
Aura menatapnya bingung. Bukannya dia sendiri yang ingin berteman dengannya, dan lihat sekarang, gadis itu kini memusuhinya.
Sheena menghampiri Aura dan berbisik. "Sorry Ra, gara-gara gue temenan sama lo. Gue di ancam,"
"Kakak gue sekarang di rumah sakit. Dia, koma--" Sheena menitihkan air matanya, hingga mengenai tangan Aura.
"Gue minta maaf. Gue lagi di awasin. Gue takut, please jangan deketin gue lagi." setelah mengatakan hal tersebut, Sheena kembali di bangkunya.
"Gue juga gak minta temenan sama lo." balas Aura tak ambil pusing. Mengetahui sifat manusia yang gampang berubah, Aura tidak mau berharap lebih kepada siapapun.
Daffa dan Satrio pun muncul, Daffa tersenyum melihat Aura kembali hadir di sekolah. "Pagi, Aura." bisiknya membuat Aura memutar bola matanya malas.
Daffa ini tipe cowok paling kepo menurutnya. Dia bahkan rela sok asik dengan kepala sekolah, agar dia bisa mendapatkan informasi tentang Aura yang sebenarnya. Tentu Aura tahu, karena bodyguard nya yang selalu mengawasi Daffa.
"Pulang sekolah, lo mau nggak--"
"Nggak. Kita nggak saling kenal!" Daffa mengangguk singkat, dan kembali mengingat sesuatu yang akan ia katakan pada Aura.
"Ternyata lo nggak punya saudara,"
"Nggak heran lagi sih. Pas ngeliat muka kalian berdua aja gue udah ngerasa nggak ada kemiripan sama sekali." Aura menghela napasnya kesal dia berbalik menatap Daffa dengan sinis.
"Bisa nggak sih mulut lo di jahit?"
Guru bahasa inggris pun datang. Mereka semua mengumpulkan tugas bahasa inggris ke depan, hanya Aura dan Daffa yang tidak ikut mengumpulkan tugas. Aura tau Daffa sengaja tidak mengumpulkan tugasnya agar dia bisa di hukum bersamanya.
Bu Niken pun menghukum keduanya dengan berdiri di depan kelas sambil menaruh empat buku di kepala mereka. Dengan kaki yang di angkat satu.
"Sengaja lo?" tanya Aura meliriknya sekilas.
"Emang gue nggak ngerjain tugas. Lupa, karena semalam lo tau gue ngapain?" tanya Daffa menatap Aura dan mengambil dua buku yang berada di atas kepala Naura untuk meringankan, Aura bahkan sama sekali tidak merasa berat.
Malah kini kepala Daffa yang terasa ingin jatuh karena menaruh enam buku paket yang lumayan tebal di atas kepalanya.
"Emang lo sepenting itu, buat gue mikirin?"
"Gue gali semua identitas para perundung di sekolah ini. Dan lo mau tau, siapa pelaku utama dalam cerita itu?" Daffa kini menatap Aura dengan serius, sedangkan Aura, dia tidak percaya dan menganggap cowok itu hanya main-main.
"Ini bukan film. Nggak ada cerita juga--"
"Ra, gue serius!" kesalnya dengan memelankan suaranya.
"Ck! Emang siapa?" tanya Aura terpaksa. Dia paling malas berbicara untuk hal yang tidak penting dan hanya main-main.
"Dia ada di sekitar kita. Awalnya gue nggak nyangka sih dia punya niat seburuk itu.."
"Dia Adel, cewek ular bermuka polos itu. Target dia itu cuman Luna, tapi yang buat gue bingung kenapa dia harus ngerundung semua murid lemah di sekolah ini?"
"Kenapa lo bisa tau?"
"Gue tetap nggak percaya!" Aura masih tidak percaya. Dia tidak percaya jika Adel lah dalang di balik semua ini.
Daffa mengacak-acak rambutnya kesal karena kepintaran Aura yang masih berada di bawah rata-rata. Menurutnya, Aura ini lugu namun dia menutupinya dengan sifatnya yang badas juga aura nya yang gelap.
Pantas aja namanya Aura, ternyata orangnya punya aura kegelapan, nggak ada cahaya sama sekali. Daffa terkikik sambil membatin dia melihat setiap pergerakan Aura yang sedang melihat suasana luar kelas sangat sepi lalu menurunkan kakinya.
"Tapi kalau di lihat-lihat, dia cantik juga." gumamnya dengan sangat pelan.
"Apa alasan Adel ngebully kakak gue?"
"Nah itu yang gue nggak tau. Maka dari itu kita--"
"Kita? Lo aja kali. Sorry kita nggak seakrab yang lo bayangkan." sela Aura memotong pembicaraan Daffa yang sudah kembali ke mode serius.
Lantas Daffa menatapnya kesal, dia harus extra sabar jika berbicara dengan gadis di sampingnya yang bermulut pedas. "Si anj! Akh udahlah. Lo tenang aja, gue bakal terus cari tahu apa tujuan Adel yang sebenarnya,"
Daffa menatap wajah Aura lalu dibalas dengan tatapan tajam oleh gadis itu. "Gue bisa cari tau sendiri,"
"Tanpa gue, lo nggak bakal bisa apa-apa, Ra. Gue ngelakuin hal sejauh ini cuman buat lo..." balas Daffa dengan cepat.
"Daf, ini bukan waktunya buat ungkapin perasaan lo ke gue. Demi ketenangan hati, gue nggak mau terlibat masalah percintaan sebelum tujuan utama gue sekolah di sini, selesai." Aura tau bahwa Daffa menyukainya, dia mengetahui hal itu lewat bodyguardnya. Naura tidak berminat untuk menjalin hubungan, namun jika bersama Daffa dia merasa nyaman.
Daffa mengangguk mengerti, sudah ia duga pasti Naura tau tentang perasaannya padanya. Karena Daffa tau, Naura itu punya banyak orang, yang memudahkannya mendapatkan sebuah informasi dengan cepat.
"Kenapa lo pengen banget tau siapa orang yang udah ngerundung Luna?"
"Gue gak bisa terus-terusan tersiksa sama tangisannya tiap malam. Gue juga capek di marahin terus,"
Daffa mendengarnya dengan bingung, tak mengerti apa yang Aura katakan. "Nggak, bentar deh, maksud lo kok gak nyambung. Kenapa lo harus ikut di marahin?"
Aura menggelengkan kepalanya pelan, dia juga tidak mau mengapa Kean selalu saja memarahinya, ketika Luna selalu bermimpi buruk. Padahal Aura tidak ada sangkut pautnya dengan masalah Luna.
"Gue mau orang itu segera di tangkap, supaya kakak gue bisa tenang. Dan gue gak tau kenapa Luna gak mau ngomong siapa orang yang sering ngerundung dia,"
"Sejak kapan Luna selalu di rundung?" tanya Daffa begitu penasaran.
"Sejak SMP, saat itu gue gak tau kehidupan kakak gue di sekolah kek gimana, tapi... akh udahlah semua emang salah gue."
"Terus, lo sekarang punya rencana apa?" tanya Daffa mengalihkan pembicaraan.
"Lo mau bodyguard gue?" ucap Aura dengan memelankan suaranya.
Jika menyangkut soal ini Daffa sangat semangat empat lima. Perlu di ingat, bahwa hanya kepada Aura, Daffa selalu memamerkan senyum manisnya itu.
"Kalau itu sih, yah lo tau gue kan emang --"
"Nggak. Gue nggak tau lo, karena lo nggak sepenting itu buat gue tau."
"Emang harus jadi orang terdekat lo dulu, supaya lo peduli sama gue?"
Aura mengangguk singkat. "Gue mau lo selalu ada di samping gue. Seperti kata lo, kalau gue nggak bisa apa-apa tanpa lo,"
"And you know what you have to do? Gue percaya sama lo!" Aura berdiri dari tempat duduknya, dia akan kembali ke kelas setelah pertemuan mereka ini, di ruang OSIS.
"Gue nggak pandai bahasa inggris." Daffa terkekeh kecil karena tidak percaya dengan ucapan Aura. Dia tahu artinya namun yang membuat ia tidak mengerti, mengapa ucapan sesingkat itu bisa membuatnya salting.
Aura berdehem pelan, dia buru-buru keluar dari ruangan itu, dan tersisa Daffa yang berada di ruangan OSIS.
"Emang boleh seberharap ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Without Telling Stories
Teen FictionBanyak yang bilang, cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya sendiri. Namun, nyatanya tidak semua anak perempuan di muka bumi ini memiliki figur tersebut, entah dalam bentuk fisik maupun psikis. Inilah yang Aura rasakan saat ini, Sekuat a...