22 : Cinnamon girl

29 11 0
                                    

Setelah pertengkaran hebat itu, Aura telah bersiap-siap untuk berangkat ke bandara. Ia memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper. Setelah selesai, Aura menghela napas dan duduk di kursi belajarnya.

Seandainya sejak kecil ia ikut neneknya ke luar negeri, mungkin Aura tidak akan merasakan kesedihan seperti ini. Kenapa dia begitu bodoh memilih tinggal bersama orangtuanya yang sama sekali tidak menganggapnya sebagai anak?

Aura menyesali keputusannya untuk tinggal bersama orangtuanya. Dia merasa dirinya hanyalah robot yang harus menuruti semua perintah orang tuanya, mereka tidak pernah menanyakan kabarnya, bahkan sekadar berbasa-basi.

Aura hanya disuruh belajar terus menerus tanpa pernah diberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.

Daffa membuka pintu kamar Aura, membuat gadis itu terkejut. "Kenapa lo?" tanya Aura bingung, matanya tertuju pada Daffa yang bersandar di depan pintu.

"Gue disuruh sama ayah lo, anterin lo ke bandara," jawab Daffa.

"Terus itu orang kemana? Dan kenapa kita gak jalan bareng aja?" tanya Aura heran. "Aneh banget sih tuh orangtua, gak jelas!" gerutunya kesal. Aura mendorong kopernya hingga mengenai kaki Daffa, membuatnya meringis kesakitan.

"Gak tau, Ra. Gue cuman di suruh--"

"Bacot banget sih jadi cowok." Aura berjalan keluar dari kamar, Daffa mengikutinya dengan senyum paksa di wajahnya.

"Lo beneran mau pergi? Biasanya lo sering kabur dari rumah tiap ayah lo mau ngirim lo ke luar negeri,"

"Ra, lari aja. Nanti gue bantu deh." ucap Daffa dengan suaranya yang di kecilkan. Aura berhenti berjalan, dia membalikkan badannya dan menatap Daffa dengan tatapan matanya yang tajam.

"Gue laripun, dia bakal terus ngejar gue. Lagian kenapa lo mau bantuin gue?" tanya Aura bingung. "Lo kan bodyguardnya dia, mana bisa bohongin dia."

Gadis itu berucap tanpa menyebut kata 'ayah'. Daffa jadi mengerti mengapa Aura sekarang berpasrah.

Di ruang tamu, dua bodyguard Aura sudah siap untuk mengantarnya ke bandara. Lisa menghampiri Aura dengan air mata yang mengalir teduh. Ia tak rela jika Aura meninggalkannya.

"Maaf ya, Ibu gak ikut antar kamu ke bandara. Soalnya hari ini jadwal Luna buat ke rumah sakit, Ibu--"

"Gapapa, Bu. Aura berangkat sekarang," sela Aura, malas mendengar nama anak pungut itu.

Lisa memeluk Aura, dibalas dengan pelukan erat. Aura melepas pelukan ibunya lalu berjalan meninggalkan rumah tanpa ada drama menangis.

Aura memilih satu bodyguard untuk menjadi sopir dan satu lagi untuk menemani Daffa. Gadis itu menatap ibunya dari dalam mobil. Lisa menangis, sedangkan Luna hanya memandang Aura dengan tatapan kosong. Aura bingung, apa yang dipikirkan Luna.

Namun saat mobil menjauh dari pekarangan rumah, tangis Aura pecah. Daffa terkejut mendengar suara tangisnya. Dia hanya terdiam dan memberikan Aura tissue.

Perjalanan menuju bandara terasa sunyi. Tidak ada yang membuka suara di dalam mobil.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Perjalanan menuju bandara hanya satu jam, dan penerbangannya baru pukul 12 malam. Aura masih punya cukup waktu untuk beristirahat. Ia memilih untuk tidur.

"Jangan tidur, Ra, nanti lo gak bakal bisa tidur lagi kalau udah di pesawat," ucap Daffa membuat mata gadis itu yang akan tertutup kembali terbuka.

"Mata gue, kenapa lo yang sewot?"

"Gak gitu anjir. Gue cuman kasih saran, jangan tidur,"

"Bangsat lo kira gue bakal mati!?" kesal Aura menarik rambut Daffa begitu kuat.

"Akhh! Ra, apaan sih sakit anj!" Daffa memukul pelan lengan Aura. Gadis segera menjauh dari Daffa ketika tatapan keduanya yang bertemu.

Setelah sampai di bandara, bodyguard Aura mengeluarkan koper dari bagasi mobil. Mereka berjalan mengikuti Aura yang berjalan lebih dulu.

"Jangan jalan duluan sebelum gue!" seru Aura, membuat Daffa mengangguk sambil tersenyum.

Daffa menatap punggung Aura dengan raut wajah sedih. Ia belum sempat punya banyak kenangan bersama gadis itu, Aura sudah pergi meninggalkannya.

Daffa menghela napas berat. Ternyata sangat susah meluluhkan hati perempuan yang bisa apa saja sendirian. Terlebih, Aura adalah gadis yang menyimpan sejuta kesedihan tanpa bercerita kepada siapapun.

"Kenapa sih, kok liatin gue gitu banget. Sedih lo?" tanya Aura membalik tubuhnya menatap Daffa.

Daffa terpesona melihat senyum kecil Aura. Ini pertama kalinya ia melihat Aura tersenyum, walaupun matanya tidak ikut tersenyum.

"Cepat pulang, Ra. Kelamaan di luar negeri bakal ngebuat lo makin kangen sama makanan Indonesia!" ujar Daffa.

"Gak janji!" jawab Aura sambil mengambil alih kopernya.

"Lo gak butuh gue? Lo bisa bawa gue, Ra."

Aura tertawa kecil mendengarnya. "Lo mau tinggal di koper?" Daffa mengangguk, membuat Aura terdiam melihat keseriusan cowok itu.

"Paan sih, serius banget."

Daffa mengalah, ia harus menurunkan gengsinya. Ia menghela napas berat, lalu merentangkan kedua tangannya seakan meminta Aura untuk memeluknya.

"Gua bukan anak kecil, tanpa lo, gue bisa sendiri!" Aura menolak untuk memeluk Daffa.

"Kali ini aja, Ra. Ayo!" seru Daffa, tentu saja Aura tidak akan pernah mau.

Daffa menurunkan kedua tangannya dengan senyum kecewa. Ia mengkode Aura untuk menjabat tangannya. Namun saat Aura hendak menjabat tangan Daffa, tangannya ditarik, membuat Aura masuk ke dalam pelukannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Girls Without Telling Stories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang