"Bunda sama Ayah kenapa gak ngasih tau dulu, sih? Serius aku kaget tadi om Heindzo bilang gitu," resah Dhifa dengan tangannya yang masih berkutat dengan cucian piring.
"Bunda tadi mau ngasih tau, tapi lupa ...." Dhifa hanya memasang wajah bingungnya, dengan cepat ia menyelesaikan aktivitasnya. RIndunya Dhifa bukan hanya ke orang tuanya, tapi juga pada tempat privasi-nya yaitu kamarnya. Tubuh yang sedari tadi sudah meronta-ronta akhirnya jatuh dalam pelukan kasur dan gulingnya.
Dhifa membaca doa sebelum terlelap dalam pelukan kasur dan guling, kejadian tadi terus berputar layaknya video dalam pikiran Dhifa. "Ah, kenapa gua gabisa tidur gara-gara itu, sih? Lagi ngapain om Heindzo ngelamar gua?" Pada akhirnya gadis yang berumur 20 tahun itu memainkan ponselnya dengan headset yang selalu ia pakai.
Malam itu ia habiskan dengan menonton video pembelajaran tentang mata kuliah yang belum ia pahami, jika ditanya bagaimana caranya membagi waktu setelah menjadi mahasiswi dari fakultas kedokteran, jawabannya tidak ada, semua waktunya hanya untuk FK.
"Kamu solat istikharah tadi malem?" tanya Rani---sang ibu.
"Enggak, Bun, kenapa emangnya?"
"Terus ngapain? Kayaknya berisik banget tadi malam."
"Belajar doang, emang berisik, ya, Bun?"
"Iya, berisik banget ... Dhif, bunda bilangin, pilih jawaban yang menurutmu itu jawaban yang terbaik yang kamu kasih ke Heindzo," pesan Rani pada anaknya.
"Tapi aku gatau mau ngasih jawaban apa, Bun. Gimana menurut Bunda?" jawab Dhifa seraya duduk disebelah sang ibu.
"Nah, dari 'gimana' itu kamu pikiran lagi ... menurut kamu Heindzo gimana? Dari diri kamu sendiri udah siap untuk bangun rumah tangga?"
"Tapi menurut Bunda gimana? Bisa gak nerima dia sebagai menantu?"
Entah kenapa rasanya hari ini bukan hari yang baik untuk Dhifa berlari seperti biasanya, selama perjalanan ia hanya memikirkan jawaban yang terbaik untuk Heindzo, penuturan dari kedua orang tuanya memberikan solusi mentah membuatnya sedikit terbantu. Apakah ia akan melepas masa lajangnya?
"Eh, Dhif, lu udah ngerjain tugas matkul farmakologi?" tanya Rian, membuka obrolan.
"Hah?" teriak sang pemilik nama seraya melihat ke temannya itu.
"Ada apa?" tanya Adam dengan memasang wajah yang selalu ia tunjukkan pada mahasiswa lainnya, Adam hanya melihat Dhifa yang sedang berbisik dengan teman seberangnya.
"Itu, Pak, Ryan tadi nanya ke saya yang tadi Bapak jelasin," jawab Dhifa.
Kelas itu pun diakhiri dengan presentasi kelompok terakhir, semua mahasiswa dengan keluar dari kelasnya kecuali Dhifa,kalau bisa ia tidak akan mendekati keramaian. Diam-diam Adam melihat Dhifa yang sedang membereskan beberapa bukunya, hanya dengan melihat sang gebetan, senyumannya terbit dari kedua sudut bibirnya. Senyuman yang tidak bisa diungkapkan.
"Untuk pertemuan besoknya saya mau kalian ada catatan mengenai mata kuliah yang sudah saya jelaskan tadi, tulis tangan dan ada tugas tambahan yang nanti saya kirim ke ketua kelas," pinta Adam.
"Baik, Pak." Mahasiswa yang di kelas menjawabnya dengan berat hati, tapi aneh rasanya jika dosen satu ini tidak menambahkan suatu kenangan di setiap pertemuan.
Waktu terus berputar, Dhifa tahu ia belum menjalankan kewajibannya, ia pun berjalan menuju tempat ibadah yang tidak jauh dari kampusnya. Setelah berwudu, gadis itu langsung mengambil mukena dan memakainya. Apakah sebuah kebetulan?
"Mau bareng, Mbak?" tanya seorang laki-laki
"Masnya nanya saya?"
"Ada orang lain disitu, Mbak?"
"Tidak ada," jawab Dhifa sambil melihat sekelilingnya, suara yang tidak asing baginya. Melihatnya pun tidak bisa, tirai yang menjadi penghalangnya.
"Ya udah, Mbaknya mau bareng?"
"Boleh."
Setelah menunaikan kewajibannya, kedua orang tersebut keluar dari masjid itu, Dhifa kaget ternyata dugaannya benar. Laki-laki yang menjadi imamnya tadi adalah Adam, mereka bertemu saat memakai sepatu. Tidak ada obrolan antara keduanya, layaknya orang yang habis lari dengan jarak jauh itulah keadaan jantung Adam sekarang.
👮👮👮
Tidak terasa 1 minggu berlalu setelah Heindzo melamar wanita yang ia sukai, tetapi belum ada jawaban yang menurut Dhifa terbaik untuk disampaikan ke Heindzo. Hal bodohnya pun kembali ia lakukan, dengan cepat ia mengambil ponselnya membuka sesuatu dari ponselnya itu.
"Google serba tau, 'kan, kalo gitu buktiin!" monolog Dhifa
'Cara menjawab lamaran pria' itulah yang ingin ia cari dari situs tersebut, banyak sekali artikel yang cocok dengan apa yang ia cari.
"Moment lamaran memang menimbulkan sensasi menegangkan baik itu pihak lelaki maupun pihak perempuan. Wah ... bener ini situs, bintang lima deh."
"Banyak banget jawaban lamarannya, 'selama ini kamu telah memotivasi dan mendukung apa pun keputusan saya' ah ... terlalu lebay, tapi bener juga, sih ... om Heindzo emang selalu semangatin gua tapi gak deh, lebay."
"Terima kasih atas niatnya untuk melamar saya. Insya Allah dengan restu Ayah dan Ibu, saya bersedia. Ini boleh deh, bagus."
Dhifa pun mengambil kertas dan menulis kata-kata dari situs tersebut. "Emang boleh ngelihat kertas, ya? Nanti kalo ketauan nyontek gimana?" batinnya.
Tetap saja Dhifa melanjutkan aktivitasnya, membaca dengan seksama, memahaminya dan menghapalnya. Apakah jawaban yang terbaik yang akan ia sampaikan ke Heindzo nantinya? Malam ini kedua keluarga itu bertemu lagi dengan perasaan senang, entah jawaban apa yanng akan dilontarkan nantinya oleh Dhifa, mereka akan tetap menerimanya.
"Kamu udah nentuin jawaban dari lamaran Heindzo, Nak?" tanya sang ayah.
"Udah, Yah." Sang Ayah hanya mengangguk sebagai jawabannya, banyak harapannya yang selalu ia langitkan untuk anak tunggalnya itu, salah satunya adalah dipertemukan dengan seseorang yang bisa membimbing Dhifa dalam kebaikan bukan keburukan.
"Nanti kalau ada keluarga Heindzo baru kamu keluar, jangan sekarang, ya, nanti kamu gerah duluan," pinta sang ayah.
"Oke siap, Ayahku," jawab Dhifa seraya membentuk love dengan kedua tangannya.
Tidak lama keluarga Heindzo datang yang langsung disambut oleh kedua orang tuanya Dhifa, dengan cepat Darim---ayah Dhifa memanggil anak tunggalnya itu. Perasaan campur aduk kini Dhifa rasakan kembali, sepertinya rasa gugup juga seakan menyelimuti tubuhnya.
"Sehat, Bu?" tanya Dhifa pada Hani seraya mencium pucuk tangannya.
"Alhamdulillah, sehat, Nak, kamu gimana?"
"Alhamdulillah juga sehat, Bu ...," jawab Dhifa ditemani dengan senyumannya.
Obrolan santai pun tercipta antara kedua keluarga itu dan tidak ada kecanggungan antara Dhifa dan Heindzo, mereka menikmati setiap obrolan tersebut. "Kertas yang tadi buat jawaban mana, ya? Kok gak ada, sih?" batin Dhifa seraya mencari keberadaan kertas tersebut disekelilingnya.
"Nak, kamu jadi ngasih jawaban lamarannya 'kan?" bisik Rani yang hanya dibalas anggukan kecil oleh sang anak.
"Di mana, sih, itu kertas," keluh Dhifa dalam hati.
"Dhif, salah satu alasan kami ke sini adalah untuk menerima jawaban dari kamu. Apakah kamu bersedia menjadi menantu saya?" Sontak Dhifa melihat ke Arya---ayah Heindzo.
Rani pun mencoel sang anak yang tampak kebingungan itu. "Kalau kamu butuh waktu, gak papa, Dhif," ujar Heindzo
"Enggak, udah cukup kok waktu yang Om kasih kemarin ...."
Dhifa mengambil napasnya dalam-dalam, berharap tidak ada yang salah dari jawabannya nanti. "Sebelumnya terima kasih udah ngasih waktu buat jawab dan sudah ada niat baik untuk ngelamar aku, insyaallah dengan restu Ayah sama Bunda, aku ... menerima lamaran dari Om Heindzo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Om Heindzo! [REVISI]
Romance[FOLLOW BEFORE READING, AND VOTE AFTER READING] Heindzo membuktikan bahwa hubungannya dengan Dhifa akan langgeng sampai nanti, suatu hubungan akan bertahan lama sesuai dengan bagaimana salah satu pasangan itu bersikap. "Gua tau, lo ... nikahin gua...