TERBANG TINGGI - BAB 11

10 1 0
                                    

Dhifa selalu merasa ia belum mempunyai rasa kepada suaminya tapi ia selalu bahagia berada didekatnya, begitu lama ia sendiri sampai-sampai tidak kenal dengan kalimat romantis tapi untungnya ia mempunyai Heindzo yang dapat membuatnya merasakan jatuh cinta.

Menikmati keindahan matahari yang ingin terbenam benar-benar indah menurut mereka, Dhifa terus memperhatikan sang suami yang selalu berpenampilan menarik. Tidak mungkin wanita di situ tidak menyukai sang suami, apakah Dhifa cemburu? Tidak. Mungkin tidak salah lagi.

Raut wajahnya yang sedari tadi terus ditekuk itu terus dilihat sang suami, tapi Heindzo tak pernah kehabisan akal untuk menghibur sang istri. Mereka pun saling bercerita sambil melihat proses matahari tenggelam itu. Tak lama adzan magrib pun berkumandang, inilah salah satu daftar keinginan mereka. Mereka berdua mampu mengatasi pertengkarannya, tujuan yang sama bukan berarti harus terus bersama tapi mereka akan terus berada di tujuan yang sama sambil berpegangan tangan.

Setelah selesai menunaikan ibadahnya mereka langsung ke tempat makan yang sudah ditentukan, apakah ini yang dinamakan 'dari mata'? Heindzo selalu bisa dibuat salah tingkat saat melihat Dhifa tersenyum.

"Sayang, di tempat ini aku mulai suka sama kamu," ujar Heindzo masih menatap hangat sang istri.

"Pantes ngajak ke sini mulu, tapi kenapa?" Bukan Dhifa namanya jika rasa penasarannya tidak setinggi tinggi badannya.

"Kepo."

"Ah, oke, Om Heindzo gitu," kesal sang istri.

Heindzo benar-benar tersihir oleh senyumannya sang istri, sungguh, pemberian dari-Nya yang sangat ia syukuri, tak lama makanan yang mereka pesan pun datang. Dhifa selalu kesusahan memindahkan daun bawang yang ada di mie ayamnya, tiba-tiba saja Heindzo memberikan makanannya yang sudah tidak ada daun bawangnya. Siapa yang tidak biasa saja? Bukan Dhifa tentunya, ia merasakan sesuatu seperti digedor-gedor jantungnya.

"Makasih, Om," ucapnya.

"Iya, Sayang, jangan lupa baca doa, yaa," jawab Heindzo dengan senyumannya.

Cara menikmati ala Dhifa sedikit berbeda dari lainnya, ia akan memakan sedikit demi sedikit saat memakan makanannya sambil menggoyangkan kepalanya. Tanpa aba-aba, Heindzo mengikuti sang istri yang begitu lucu. Meski hanya mie ayam tapi mereka tetap merasa bahagia. Tiba-tiba Dhifa teringat dengan seseorang yang memberitahunya bahwa 'seumur hidup itu terlalu lama'. Apakah ini yang dimaksud orang itu?

"Sini aku bukain." Heindzo pun mengambil botol minum Dhifa dan membukakannya untuk sang istri.

Apakah Dhifa dapat terbang tinggi sekarang juga? Sebelum mengenal Heindzo, Dhifa tak pernah merasakan dicintai sehebat ini. Seakan dunianya indah untuk dijalani bersama dengan sang suami, obrolan mereka sepanjang perjalanan mengisi redupnya lampu jalanan.

"Hebat? Maksudnya?"

"Iya, kamu itu hebat, calon dokter sekaligus calon ibu dari anak-anakku," jawab Heindzo.

"Emang Om Heindzo mau punya anak?" tanya Dhifa seraya mencoel tangan sang suami.

"Mau, kamu?"

"Hm ... mau gak, ya?"

"Jawaban dari pertanyaan kamu tadi cuman kamu yang tau," ujar Heindzo sambil melihat sang istri beberapa saat.

"Kenapa gitu?"

"Aku gak bisa maksa kamu untuk ngelakuin sesuatu yang belum tentu kamu mau, kamu mau aku juga mau itu intinya," jelas Heindzo.

Lagi-lagi di malam itu jantung Dhifa seakan ada bom yang meledak, kalimat yang biasa tapi mampu membuatnya terbang tinggi entah sampai mana. Mereka pun sampai rumahnya, entah kenapa depan rumahnya sangat ramai anak-anak kecil sedang main petasan.

Om Heindzo! [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang