CBST - BAB 4

18 3 0
                                    

Hari ini sampai seterusnya objek yang pertama kali ia pandang bukan lagi gulingnya tapi Heindzo, tidak ada yang istimewa dari sang suami menurutnya. Setelah puas melihat wajah sang suami yang tengah tidur, ia pun langsung ke kamar mandi.

"Malam pertamanya gimana, Kak?" tanya sepupunya.

Dhifa tidak menyahut sama sekali, ada hal yang lebih penting daripada menjawab pertanyaan tidak jelas itu. Heindzo yang menyadari sang istri tidak disebelahnya pun segera bangun dan melihat sekeliling.

"Sayang?" panggil Heindzo.

Heindzo keluar dari kamar sang istri dan mendapati beberapa saudaranya yang sudah bangun, tatapan mereka seperti tahu apa yang terjadi pada biasanya setelah selesai pernikahan.

"Bi, Dhifa ke mana?"

"Ke kamar mandi, Mas," jawabnya.

"Makasih, ya, Bi." Heindzo pun kembali masuk ke kamar, menunggu sang istri selesai dari urusannya di kamar mandi. Seperti tidak ada habisnya, mendengar penuturan dari saudara-saudaranya. Apakah se-asik itu membicarakan pengantin baru?

"Om keluar tadi, ya?" tanya Dhifa seraya menutup pintu kamarnya.

"Iya, kenapa?"

"Gak papa, kita di omongin mulu tau ...." Heindzo sudah menebak apa saja yang dibicarakan orang di luar sana, ia melihat wajah sang istri yang memerah, entah karena apa.

"Alergi kamu kambuh, ya, Sayang?" tanya Heindzo seraya mengusap pipi chubby-nya yang dengan cepat Dhifa menjauh dari sang suami.

"Enggak, merah, ya?"

"Iya, Sayang," jawab Heindzo yang masih memerhatikan kedua pipi sang istri

Dhifa menutupi pipinya dengan kedua tangannya. "Blush? Blushing?" tanya Heindzo.

"Iya, Om ... jadi jauh-jauh deh!" resah Dhifa seraya membelakangi Heindzo.

Heindzo memeluk Dhifa dari belakang, tidak bisa dipungkiri jika saat ini jantungnya normal-normal saja. "Dhif, kamu lucu," bisik Heindzo.

Saat itu juga bom meledak di jantung Dhifa, kini Heindzo melepaskan pelukannya dan tertawa kecil karena sikap sang istri, sepertinya menjahilinya adalah suatu aktivitas yang akan terus-menerus ia lakukan pada Dhifa.

"Om, gak tidur lagi?" tanya Dhifa seraya berbalik badan.

"Udah jam tiga, Sayang, kita solat tahajud aja, yuk?" ajak Heindzo

"Ya udah, aku dulu yang ambil air wudu, baru Om."

"Kenapa gak bareng aja, sih, Sayang?" ujar Heindzo dengan nada 'nakal'-nya.

Seketika Dhifa memukul dada sang suami pelan, kecanggungan antara mereka seperti menghilang begitu saja sejak pelukan pertama kali.

"Ck, jangan bikin yang di luar tambah panas deh, Om," decak Dhifa yang hanya dibalas dengan senyuman dari sang suami.

👮👮👮

"Hati-hati, ya, Sayang." Dhifa pun mencium pucuk tangan sang suami, lalu Heindzo mencium kening sang istri.

"Iya, makasih ya, Om."

"Sama-sama, Sayang." Dengan cepat Dhifa pun keluar dari mobil sang suami, ia tidak mau Heindzo mengetahui ia sedang blushing lagi.

"Sayang!"

"Kenapa, Om?"

"Nanti kabarin aku kalo kamu udah pulang ya, Sayang?" pinta sang suami yang hanya dijawab dengan ibu jari Dhifa.

Om Heindzo! [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang