Bab 1

1.1K 59 2
                                    


2018

Dilarang pacaran kalau masih sekolah.

Itulah larangan yang berulang kali diucapkan orang tua Wina ketika anak gadis mereka menginjak usia remaja. Sekarang usia Wina sudah 18 tahun, duduk di kelas 12 SMA di salah satu sekolah swasta favorit yang banyak mencetak orang-orang berprestasi, jurusan IPS.

Wina memiliki kecantikan yang unik dengan kulit sawo matang, tubuh jangkung di antara teman perempuan lainnya, dan berambut keriting. Ia tak pernah minder ketika berada di antara teman-teman perempuannya yang mayoritas berkulit cerah dan berambut lurus. Wina mengandaikan dirinya bagaikan pelangi yang memberi warna beragam di lingkungan sekolah.

Wina juga tak sadar kalau banyak kaum hawa di sekolah yang iri padanya karena ia sangat dekat dengan salah satu idola sekolah sang mantan ketua osis, Lyon Mulya.

"Papa kira hubungan persahabatanmu dengan Lyon nggak akan bertahan sampai sekarang. Ternyata awet juga," kata Daneswara–papanya Wina–yang sedang mengendarai mobil menuju sekolah Wina.

Wina yang sedang menyedot susu kotak sampai tersedak mendengar perkataan papanya. Ia menepuk dada yang mendadak sesak dan berdeham membersihkan tenggorokan yang mendadak serak.

"Perlu saya ingatkan lagi kepada Bapak Daneswara, rumah saya dan Lyon berhadap-hadapan, loh, Pa. Selain itu kami juga selalu satu sekolah dari playgroup sampai SMA, bagaimana mungkin kami tidak bersahabat sampai sekarang?" sahut Wina menggebu-gebu.

Daneswara tertawa kecil mendengar bahasa formal anaknya, lalu melirik sekilas. "Dia anak baik dan pintar, kamu harus banyak belajar dari dia, tapi ingat kalian hanya boleh temenan aja. Nggak boleh pacaran."

Wina kembali terbatuk-batuk mendengar kalimat terakhir papanya. Ia tak membalas dan memilih memalingkan wajah ke arah kaca pintu samping kirinya. Ia meremas jari-jari kanannya menutupi rasa gugup.

Ketika mobil berhenti di depan pagar sekolah, Wina buru-buru keluar dari kendaraan beroda empat itu untuk menghindar dari aksi memalukan yang sering papanya lakukan. Ia berlari kecil, tetapi sampai langkah kelima ia berhenti dan kembali ke mobil papanya yang belum beranjak.

"Papa," panggil Wina mengetuk jendela mobil dekat kemudi lalu menengadah telapak tangan. Kedua sudut bibirnya naik sampai menampilkan susunan giginya. Matanya berbinar penuh harap. Ekspresi wajahnya ini selalu berhasil membuat papanya gemas.

Daneswara terkekeh sambil menurunkan kaca mobil. Ia menepuk pipi kanannya menggunakan telunjuk sebelum mengabulkan permintaan anaknya.

Wina mendengus lalu melirik ke kiri dan kanan takut ada temannya yang melihat. Ia mencondongkan tubuhnya dan mengecup pipi papanya secepat kilat sambil menahan malu.

Walaupun sudah melakukan permintaannya, tetapi Daneswara belum memberikan apa yang diminta Wina. Ia masih ingin mengisengi anaknya.

Daneswara meraih kepala anaknya dan menarik mendekat pada wajahnya. Ia mengecup kening dan pipi Wina sampai terdengar bunyi kecupan. Gadis itu menjerit tertahan atas perbuatan pria yang berprofesi sebagai pengacara itu.

Wajah Wina memanas menahan malu, saat penglihatannya menangkap sosok Lyon dengan motor, sedang melewati pagar sekolah sambil menertawakannya.

"Papa... maluuuu," jerit Wina melepas tangan papa dari pipinya.

Daneswara terkekeh lalu mengambil dompet yang ditaruh di dasbor. "Dicium Papa kok malu? Selagi orang tua masih ada jangan malu dicium-cium. Nanti udah nggak ada nyesel, loh."

"Aku udah besar, Pa. Ntar aku diketawain sama teman-teman yang lihat aku masih dicium orang tua." Wina menerima dua lembar uang berwarna merah dengan wajah cemberut.

Menolak Move On (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang