Bab 11

286 39 5
                                    

Wina menempelkan ponsel di telinga kanan, sedang menghubungi Owen. Sambil mengerjap matanya yang bengkak akibat menangis selama tiga jam karena diagnosa yang dijatuhkan untuknya.

Hatinya remuk luar biasa, pikirannya kalut. Ia takut sekali mendengar kata "operasi". Ia khawatir siapa yang akan menjaganya di rumah sakit ketika semua orang sibuk dengan pekerjaannya. Ia gemetar membayangkan bagaimana kalau operasi itu gagal. Bagaimana dengan adiknya yang masih berusia empat tahun?

Kalau saja orang tuanya masih ada, pasti ia sudah diterbangkan ke luar negeri untuk mendapatkan perawatan terbaik di sana. Nyatanya, ia harus sendiri menghadapi kenyataan pahit yang sedang ia alami.

Air mata Wina jatuh lagi.

Satu-satu yang ia butuhkan saat ini adalah kehadiran Owen. Ia mau pacarnya itu ada di sisinya untuk menenangkan, memberinya keyakinan kalau semua baik-baik saja. Ia bisa melewatinya dan ini bukan penyakit langka yang tak bisa disembuhkan.

Harapannya harus pupus ketika dua kali panggilan itu sengaja ditolak oleh Owen. Bahkan pesan-pesannya tak dibalas oleh lelaki itu. Wina mencoba berprasangka baik pada pacarnya, mungkin ia sudah tidur karena sekarang juga sudah tengah malam.

Memorinya kembali terlepar pada kejadian tadi siang saat Maya menemaninya di rumah sakit, katanya sempat melihat Owen bersama seorang perempuan seusia mereka.

"Ceweknya cantik, putih, tinggi kayak kamu. Mereka kelihatan akrab. Kamu jangan mikir macam-macam, ya, siapa tau perempuan itu saudaranya," jelas Maya berusaha tak membuat Wina berpikir negatif terhadap Owen.

Setelah mendengar cerita Maya, Wina langsung menghubungi Owen lewat pesan teks. Menanyakan apakah Owen ke rumah sakit tadi siang, dan cowok itu menjawab dengan jujur, ia mengantar sepupunya yang sedang sakit karena rumah orang tua sepupunya berada di Jawa Tengah.

Seketika Wina menarik napas lega. Ia tahu persis pacarnya dengan baik. Owen adalah satu-satunya laki-laki yang ia yakini akan menjaga kepercayaannya. Selama ini Owen selalu membiarkannya membuka ponsel dan tak pernah Wina menemukan pacarnya berkirim pesan dengan lawan jenis.

Bahkan geng teman-teman dekatnya saja semua laki-laki dan mereka membuat peraturan tak boleh membawa perempuan ke tongkrongannya. Makanya itu juga jadi alasan Owen tak pernah mengenalkannya pada sahabat-sahabatnya.

Setelah itu, Wina membalas pesan Owen, memberitahu ia sedang memeriksa kesehatan di rumah sakit karena sakit perut saat datang bulan yang tak tertahankan, tetapi pesan itu belum dibaca sampai sekarang. Wina belum memberitahu tentang diagnosa yang sudah ia dapatkan dari dokter karena ia ingin mengatakannya saat bertatap muka dengan kekasihnya.

Apalagi tadi ia sempat mencari informasi tentang Kista Endometriosis, banyak diderita oleh gadis yang belum menikah dan katanya bisa membuat penderitanya sulit hamil. Ia ingin melihat langsung reaksi Owen apakah bisa menerimanya jika mereka menikah, Wina tak bisa cepat hamil atau keadaan buruknya mereka tak pernah dikaruniai anak.

Waktu cepat berlalu. Sekarang sudah pukul dua tengah malam, tetapi penglihatan Wina masih segar. Ia memutuskan keluar dari kamarnya menuju kamar Caleb. Sengaja memindurkan Caleb di kamar yang berbeda, biar bisa puas menangis tanpa mengganggu adiknya.

Pintu kamar dibuka dalam keremangan cahaya dari lampu yang berada di lorong, nampak Caleb sudah terlelap. Wina memandang adiknya dari ambang pintu. Rongga dadanya terasa terhimpit, tenggorokannya perih, matanya mulai berair. Ia bergerser ke luar kamar dan membalik badannya, hingga punggungnya membentur tembok.

Gadis itu menutup mulut dan satu per satu butiran air mata jatuh membanjiri wajahnya. Ia menyentuh perut dan pikiran buruk mulai merasukinya lagi. Ketakutan akan dijemput lebih cepat oleh Sang Pencipta, sementara adiknya masih terlalu kecil untuk ditinggal seorang diri.

Menolak Move On (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang