Bab 9

277 35 0
                                    


Wina mulai menjual nasi bakar satu minggu setelah mendapat pujian dari orang-orang yang mencobanya. Ia menjual dengan sistem PO lewat grup alumni SD sampai SMA dan pada hari pembukaan jualan, ia mendapat 10 pesanan. Angka ini jauh dari ekspektasinya karena hanya menargetkan lima pesanan pertama, ternyata realisasinya dua kali lipat.

Ia tak bisa menahan haru ketika merekap nama dan alamat pesanan yang akan ia kirim pada akhir pekan nanti.

Pada hari yang dijanjikan, ia sudah sibuk di dapur sejak jam empat subuh karena makanan akan diantar oleh kurir pada pukul 10 pagi dan ia mengerjakannya seorang diri. Namun, pekerjaannya mulai sedikit tersendat ketika Caleb terbangun dan minta digendong.

"Adek, mobil-mobilan baru dari Kak Lyon belum dibuka segelnya. Turun yuk, mainin mobilnya," ucap Wina membujuk adiknya agar mau didudukan di sofa.

"Nggak mau... gendong." Caleb merengek dan mengencangkan pelukan di leher Wina.

Wina menarik napas panjang. Ia menatap ayam dan ikan yang sudah disuir dan bumbu-bumbu pelengkap yang akan dimasukan sebagai isian nasi bakar diletakkan di meja. Sekarang sudah jam tujuh dan ia belum memanggang nasi-nasi ini.

Pikirannya mulai kalut. Takut akan terlambat mengantar pesanan sampai ke tangan teman-temannya jika menuruti kemauan adiknya. Mau tak mau ia mengambil ponsel dan menghubungi Owen.

Mereka sudah baikan keesokan harinya setelah bertengkar malam itu. Owen lagi-lagi mengaku salah karena memaksa kehendak dan tak bisa memahami Wina yang tak mau sekolah.

"Kamu bisa ke rumahku sekarang? Bantu jaga Caleb, dia lagi manja banget. Sementara pesanan belum ada yang jadi, padahal jam sepuluh udah harus mulai kirim pesanan."

Owen terdiam sesaat, lalu menjawab dengan nada penyesalan, "Maaf, Sayang, aku nggak bisa. Tugas lagi menumpuk."

"Ya, udah. Maaf ganggu." Wina memutus panggilan begitu saja. Rasa lelah dan kesal bercampur, membuat matanya memanas dan tak terasa satu tetes air mata jatuh tanpa permisi.

Masih menangis, Wina membiarkan ponselnya diambil oleh Caleb, tetapi anak itu tak mau turun dari gendongan.

Rasanya Wina ingin membentak adiknya karena minta dimanja di saat yang tidak tepat. Ia mulai kebingungan. Berusaha memutar otak memikirkan cara yang harus dilakukan agar adiknya bisa bermain sendiri.

Dengan segala resiko, Wina mendudukan adiknya ke lantai. Sudah bisa diprediksi, bencana kecil langsung menyerang. Caleb meraung dengan lengkingan tajam sampai telinga Wina berdengung dan kepalanya nyeri sebelah. Bahkan setan dalam diri gadis itu mulai berbisik untuk melayangkan pukulan pada adiknya.

Ia mengepalkan tangan, matanya menyala menyiratkan amarah dan kakinya melangkah mendekat ke arah adiknya yang tengah berguling-guling di lantai. Ia mulai gelap mata. Tangannya yang sedang dikepal, ia buka lebar dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

Di saat yang bersamaan sang adik berbalik padanya dan merentangkan kedua tangan. Seketika isakan Wina pun pecah. Ia duduk di lantai di samping adiknya yang masih menangis. Wina menarik Caleb ke pelukan.

"Mama, Papa, aku capek," ucap Wina dalam tangis.

Ajaibnya tangis Caleb tiba-tiba berhenti. Ia memerhatikan wajah kakaknya dengan kerutan di dahi.

"Kakak, nangis?"

Wina menghapus air mata dan mengangguk.

"Iya, Sayang. Kakak nangis karena sedih Adek nggak mau main sendiri. Padahal kakak lagi sibuk."

Caleb bangun dan memeluk leher kakaknya. Wina membalas pelukan lebih erat. Setelah perasaannya sudah tenang, Wina melerai pelukan.

"Habis ini Adek main sendiri, boleh?"

Menolak Move On (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang