Perjalanan kami terus berjalan tanpa arah. Yang kami inginkan memanglah mencapai tempat dimana pusatnya kehancuran itu ada. Ya, tengah kota. Namun bahkan sampai hari ini, kami belum sampai tengah kota. Kalau bukan karena penjagaan dari kroco-kroco Bhavi ada, mungkin kelompok kami sudah tiba dari kapan tau.
Menurut ilmu geografi perpetaan, perjalan kami masih harus menempuh jarak yang jauh. Bahkan mencapai setengahnya pun juga belum. Bayangkan, ratusan kilometer hanya untuk mencapai pusat titik tengah kota di tempuh dengan berjalan kaki tanpa henti mungkin membutuhkan waktu berhari-hari atau seminggu(?). Tapi karena keseringan berhenti...jadinya molor berminggu-minggu.
Bukan hanya itu. Kami juga membutuhkan posko istirahat yang setidaknya cukup aman bagi ketiga bocah ini. Mungkin terlihat seperti beban, tetapi faktanya mereka juga membantu.
Ibaratnya apa ya dalam suatu party pertarungan. Tim Pendukung? Entahlah, aku tak mengerti yang seperti itu.
"Aku penasaran. Kali ini apa lagi yang bakalan menimpa kita dalam perjalanan? Setan? Dedemit? Apa siluman?" Tanya kak Elin yang tiba-tiba nyeletuk.
"Hus, jangan ngomong gitu Elin. Nanti mereka beneran muncul gimana? Emang gak capek apa di kejar-kejar kek buron?" Kak Ganet menolak ucapannya bagai bala.
"Kan emang faktanya kita ini buronannya si Bhavi, kak. Emang lu pikir kita apa? Temen dia sampai bisa jalan aman tanpa di nyahep sama tuh penyihir?" Mahes memberi tahukan fakta.
Aku merespon ucapan mereka dengan bingung dan agak syok. Bisa-bisanya respon mereka itu sangatlah santai sekali. Terutama kak Elin dan Mahes.
Tatapanku beralih ke kak Wira. Entah sejak kemarin dia terlihat agak berbeda. Hm, apa karena dia kehilangan semangat? Gak, gak, sepertinya bukan karena itu.
Dengan inisiatif, aku menghampiri kak Wira yang berjalan di depan kami sembari menggandeng tangan Janitra.
"Kak," aku menepuk pundaknya, namun reaksinya rada lain. Dia seolah menepis tanganku yang berada di pundaknya.
Auranya? Tidak, auranya tidak berubah. Masih seperti biasanya. Pancaran sinar suci masih menyelimuti dirinya. Mungkin...suasana hatinya yang membuatnya terlihat berbeda.
Kak Wira berbalik dan memberikan reaksi yang kaget. Mimik wajahnya terlihat menyesal.
"....Ah, maaf Naraya. Aku sedang berada di fase penurunan kekuatan dan penjagaan. Maksudnya ada satu waktu yang membuatku tak bisa peka akan kekuatan spirit seseorang. Biasanya ini terjadi kalau aku akan di berikan sebuah gambaran masa depan oleh tuhan....mungkin"
Aneh, kak Wira kenapa ngomongnya berbisik seperti itu? Apa karena dia tak mau membuat Janitra takut?
"Kak...kakak lagi di dalam keadaan seperti waktu itu ya? Soalnya kakak gandeng tangan Janitra terus. Bukan tangannya Tisha, Yosani," bak anak yang peka, Janitra langsung menangkap gerak-gerik aneh orang yang menggandeng tangannya itu.
Kak Wira menyamakan tingginya dengan Janitra. Ia mengelus kepala gadis kecil itu.
"Janitra, kakak tau kamu khawatir pada kakak. Memang benar, kakak menggandeng tanganmu karena kakak sedang mengalami hal yang sama seperti waktu itu. Janitra mau bantu kakak, kan?" Ucap kak Wira dengan lembut.
Janitra mengangguk. Senyum manis terkulum di bibir mungilnya. Aku tau aura mereka sama. Suci, dan imbang. Beda denganku yang suci tapi lebih tinggi.
Aku jadi ingat kalau kak Wira adalah seorang penerima kekuatan suci atau calon imam dalam agamanya. Apakah sekarang dia naik pangkat jadi seorang saint? Tunggu, apa jangan-jangan Janitra juga ada potensi menjadi orang suci? Saintess, kah? Entahlah, yang ku yakin mereka adalah kombinasi yang cocok bila di gabungkan dalam pertarungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Battle in Dream
HorrorPertarungan di dalam mimpi yang begitu panjang antara kubu manusia dengan kubu monster serta penyihir malam. Sebuah bunga tidur, namun terasa nyata. Gelap, mengeringkan, seakan terus memerangkap jiwa yang tengah berkelana. Buruk, namun tak bisa bang...