Semakin aku berlari jauh, semakin banyak pasukan Bhavi yang mengejar. Entah aku harus kemana dan bagaimana. Aku hanya mengikuti langkah mereka. Tak peduli betapa jauh dan lelahnya. Mungkin tak terhitung berapa banyak peluh yang sudah di keluarkan.
Kak Elin dan Kak Ganet memimpin di depan sembari membawa Trisha dan Janitra di gendongan mereka masing-masing. Sementara Mahes dan Kak Wira melindungi dari belakang.
Menyedihkan. Kenapa jadi seperti ini? Bhavi membawaku ke dalam dunia ilusi yang dimana lingkungan ini aku kenal. Tapi sejak kapan aku tak mengenali lagi tanah kelahirannya? Hancur lebur tak tersisa. Yang semuanya kokoh, sekarang berantakan.
Darah, darah, dan darah. Dimana-mana darah. Dan kalaupun utuh, pasti sudah tak bernyawa. Semakin aku menelusuri jalan, teriakan asing minta tolong terus menghantui telingaku. Tidak, Bahkan jeritan sakit juga ku dengar.
Duk
"Naraya. Hey, lu kenapa?" Mahes berhenti di belakangku yang terjatuh.
Yosani? Sudah di ambil alih oleh Kak Ganet. Memalukan aku tak kuasa melihat ini lama-lama. Setangguh apapun aku, pasti ada kalanya terpuruk.
Mahes terkejut saat melihat wajahku. Muka takut? Kenapa?
"Naraya, lu...kenapa air mata lu kaya darah?" Mahes bertanya dengan terbata-bata.
Mendengar itu, aku langsung mengusap. Ah, ternyata benar. Pantas saja aku lemas. Ternyata dari tadi seperti ini. Ujung bibirku terangkat. Tertawa ramah pada hal yang sudah lama tak terjadi.
"Kutukan sialan," gumamku sembari mengusap mata dan bangkit kembali.
Mereka kebingungan. Mahes membantuku berdiri. Saat setelah mataku berkedip, mereka tambah kaget lagi.
"Apa lagi ini?" Kak Wira yang malah sekarang kaget.
"Aku gak papa. Kalian jangan khawatir. Ini efek kutukan yang mengalir di keluargaku saja. Sudah ada sejak zaman nenek moyangku. Biasa, seperti anemia. Aku cuman lemes sebentar tadi. Pupil? Kalian kaget ya. Maaf, keturunan dari ibuku. Pupil mata membesar seperti orang mati. Kalau seperti ini, pasti..."
Aku langsung membidik pistol ke arah bangunan yang menghitam akibat api. Sepertinya pernah terbakar.
Dor...dor...dor
Mereka kaget saat aku maju ke depan dan menembak tiga kali peluru di tempat yang sama. Para bocil malah tutup telinga. Aku akui suara pistol memekik telinga.
"Kikkkk"
"Gak usah sembunyi bego. Aku tau kau ada di situ. Sini, aku gak takut sama kalian. Kau kira aku sudah di ganggu berapa kali sama kalian selama di dunia nyata? Dari kecil kalian sering ngintip ya. Sampe di sini juga gitu. Aku capek di giniin terus. Sialan"
Dor...dor...dor
"Hah...hah...hah"
Nafasku memburu. Melempar pistol saat aku gagal menembak mereka yang kasat mata.
Perlahan pupil mataku mengecil kembali. Mata sialan ini. Kenapa harus aku yang memiliki mata ini?
"Lu...tadi nembak apa?"
Aku menghembuskan nafas dengan pelan. Mengatur kembali emosi yang tadi sempat pecah.
"Monster? Jin? Siluman? Entahlah, aku tak mengerti mengimplementasikan dengan mereka dengan sebutan apa. Yang pasti, kalau aku seperti tadi. Aku bisa melihat hal yang kasat mata. Kalau seperti leak, kuyang, dan hal lainnya bisa di lihat karena mereka menampakkan diri. Berbeda dengan ini. Fungsinya sama seperti mata batin. Tapi ini untuk kasta mereka yang lebih tinggi"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Battle in Dream
TerrorPertarungan di dalam mimpi yang begitu panjang antara kubu manusia dengan kubu monster serta penyihir malam. Sebuah bunga tidur, namun terasa nyata. Gelap, mengeringkan, seakan terus memerangkap jiwa yang tengah berkelana. Buruk, namun tak bisa bang...