Tujuh

475 56 20
                                    

content warning: 🌈☝️🎱➕

Kertas-kertas tergeletak berantakan di meja besar. Belum lagi bercak warna-warna akibat pulasan yang tak sengaja menetes dari kuasnya. Asal tidak mengotori kertas putihnya, itu tak menjadi masalah baginya. Hanya saja ketukan pintu tiba-tiba membuat kuasnya meleset jauh dari garis pensil yang telah dia goreskan. Gabbie memukul mejanya pelan, sedikit kesal.

Gabbie berjalan dengan berantakan, bukan hanya penampilan, melainkan wajah hingga suasana hati yang berantakan pula. Apalagi ketika mendapati Ayden yang berada di depan pintu.

Tatapan sinis dari Gabbie tak terhindarkan ketika menemui Ayden di studionya saat Katherine merayakan ulang tahun ibundanya. Rasanya tidak pantas dan tidak masuk akal. Wajar rasanya kalau Gabbie ingin menjambak rambut Ayden kali ini.

"Gue udah bilang jangan temuin gue kalo kita berdua doang!" Seru Gabbie penuh penekanan.

Tak terlihat peduli, Ayden langsung masuk ke dalam hingga tubuh Gabbie terpaksa mundur terdorong tubuh Ayden.

"Jangan ngomel dulu, gue butuh ke kamar mandi." Ucap Ayden. Mau tidak mau Gabbie menunjukkan arah kamar mandi. Ayden kemudian melepaskan jam tangan dan meletakkannya di atas kulkas mini milik Gabbie.

Saat Ayden ke kamar mandi, Gabbie  membereskan kertas-kertasnya yang berantakan. Mengumpulkannya menjadi satu dan ditaruh di meja kerjanya.

Gabbie mengambil kardigan yang tergantung, mengikat rambutnya yang tadi dia biarkan terurai berantakan. Rasanya tidak nyaman saat dia hanya memakai tank top dan mengobrol berdua dengan pacar sahabatnya.

Ayden keluar dari kamar mandi dan menatap keliling ruangan yang dapat dia kenali dengan mudah, walaupun baru pertama kali menginjakkan kaki. Apalagi kalau bukan tempat Katherine memotret dirinya di ruangan Gabbie.

"Udah, kan? Sekarang waktunya lo keluar dari sini!" Usir Gabbie.

Ayden seolah tak mendengar ucapan Gabbie dan mengelilingi seisi ruangan. Dia juga tak ada cara lain untuk menemui Gabbie, selain ke studio langsung dan mencari keberadaan Alen. Sejak sepeninggal Gabbie dari kafe, Ayden tidak bisa berpikir jernih. Walaupun dia tidak tahu posisi Alen di mana, tapi Ayden bisa merasakan bahwa Gabbie menjemput Alen saat itu. Pesan yang dia kirimkan juga tak kunjung mendapat balasan dari Alen, pun Gabbie. Hingga hari ini Ayden mengunjungi Gabbie setelah dirinya pulang bekerja.

"Lo umpetin Alen dimana?" Tanya Ayden berada tepat di depan ruangan yang tertutup pintunya.

"Ya, lo tanya ke Alen lah, kenapa jadi gue?" Sinisnya.

"Berarti ruangan ini boleh gue buka, kan?" Tanya Ayden memegang kenop pintu. Gabbie langsung berdiri, terkejut sedikit, dan langsung menghampiri Ayden.

"Gak ada Alen di sini." Ucapnya sambil mendorong Ayden agar pulang dari studio.

Ayden bukanlah pria kecil yang mudah goyah saat didorong seorang perempuan yang lebih pendek darinya. Dia kemudian membuka kenop pintu itu.

Gabbie mengusap wajahnya dan mengembuskan napasnya. Ayden dapat merasakan seperti ada yang tidak beres saat memandang Gabbie. Dia kemudian masuk ke dalam ruang pakaian milik Gabbie, tidak hanya pakaian, melainkan lemari buku juga susunan gulungan kain dengan beragam warna dan motif.

"Udah, kan? Sekarang waktunya lo pulang." Ucap Gabbie masih berusaha mengusir Ayden. Ayden kemudian menutup ruangan itu dan beralih duduk.

"Etika lo dimana ada tamu harusnya disuruh duduk sama dikasih minum." Ucap Ayden.

"Lo bukan tamu gue, jadi lo mending pergi."

"Oke, gue pergi setelah satu cangkir kopi habis."

Gabbie mendecak sebal sambil menuangkan air panas ke dalam cangkir yang sudah dia masukan bubuk kopi. Dia pikir Ayden akan bawel menanyakan keberadaan Alen, namun hanya hening yang terdengar.

SESALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang