Dua Belas

351 42 8
                                    

Suara mesin elektrokardiograf beralun mengartikan bahwa seseorang di hadapannya tengah terjaga, seorang wanita paruh baya yang sedari tadi memperhatikan Gabbie dengan seksama. Kalau dipikir-pikir pekerjaan Gabbie memerlukan emosional di setiap hal: menumpahkan emosinya dalam sebuah goresan atau merasakan emosi orang lain saat melihat gaunnya. Senang, haru, gembira, bahkan kesedihan pernah Gabbie saksikan sendiri.

Kali ini seorang wanita paruh baya yang tengah berada di ruang dengan mesin dan selang melintang yang Gabbie tak tahu apa fungsinya. Seorang wanita yang disebut ibu itu memilihkan gaun untuk putri tercinta karena tak lagi bisa hidup lebih lama. Gabbie berusaha untuk tidak terbawa suasana dan profesional dengan pekerjaannya.

"Kamu sudah menikah, nak?" Tanyanya lembut.

Gabbie berusaha untuk tidak menghela napasnya, dia enggan menjawab pertanyaan pribadi dari kliennya.

"Belum bu." Jawabnya pasrah. Si ibu memegang tangan Gabbie, mengusap punggung tangannya dengan mata yang penuh sorot akan kekhawatiran. Kepalanya tertunduk mungkin agar tidak terlihat seperti seorang pecundang.

"Anak saya sebenarnya tidak ingin menikah, tapi saya ingin melihatnya mengenakan gaun dan menimang bayi." Jelasnya. Leleh air matanya menetes mengenai pakaian biru yang tengah dikenakannya. Gabbie bingung harus menjawab apa, dia tidak ingin terbawa suasana.

"Maaf saya-" Ujar Gabbie terputus melihat sepasang kekasih memasuki ruangan. Sebenarnya Gabbie ingin merespon untuk tidak ikut campur. Orang-orang dewasa itu memang egois, oma juga menyuruhnya menikah karena khawatir Gabbie merasa kesepian. Dia lupa kalau dirinya juga orang dewasa.

"Gimana ibu suka desain-nya?" Tanya si perempuan.

Mata Gabbie tak sengaja mendapati pandangan yang tak mengenakan. Si perempuan langsung melepaskan tautan jemarinya saat hendak mengusap kepala sang ibu. Bahkan senyuman pasangannya luntur saat tautannya terlepas, tangannya yang hendak melingkar di pinggang perempuan pun dia urungkan. Namun itu bukan masalah Gabbie, lantas Gabbie pamit setelah menjelaskan untuk fitting final satu minggu sebelum acara berlangsung.

Gabbie baru menghela napasnya saat sudah sendirian sambil menanti pesanannya dipanggil. Gabbie jadi kepikiran ibu tadi, mungkin Gabbie harus buru-buru menikah karena takut opa tak kuat berjalan mengamit tangannya menuju altar. Dia juga belum menghubungi Najim, niatnya dua atau tiga hari sebelum pertemuan keluarga. Itu juga kalau Gabbie kehabisan waktu untuk mencari laki-laki.

Lagi-lagi dia mencoba melarikan diri dari pikirannya sendiri dengan merancang. Berkali-kali dia mencoba menggoreskan pensil di kertasnya. Coretan di kertas yang kini dia remas sendiri karena tak sesuai dengan keinginannya.

"Permisi boleh duduk di sini?" Izin seseorang dengan suaranya yang lumayan berat. Gabbie menoleh dan mengangguk setuju, lagipula siapapun bisa duduk di ruang terbuka seperti ini.

"Saya Nathan, kamu ingat saya?" Tanya Nathan mencoba mengambil perhatian Gabbie dari pensil di jemarinya. Gabbie jadi menatapi laki-laki dihadapannya, mengingat-ingat apakah dia pernah bertemu laki-laki itu.

"Maaf saya tidak ingat, dengan siapa ya?" Balasnya. Nathan kemudian meninju tangannya ke udara, seketika Gabbie jadi teringat pria berbadan besar yang dia buat pingsan.

"Ahhh iyaa." Ujarnya.

"Jadi boleh gak formal kan ngomongnya?" Tanyanya.

"Ah iya iya boleh."

"Pacarnya Jaylen, kan? Namanya siapa?" Tanya Nathan sontak membuat Gabbie melambaikan tangannya membantah.

"Bukan, bukan siapa-siapa." Balasnya, Nathan terlihat heran dan tersenyum dengan canggung.

SESALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang