Tiga Belas

352 42 5
                                    

Dering alarm berbunyi mengajak Gabbie membuka matanya, namun dirinya masih mengantuk sebab semalam jam tidurnya berkurang. Dia memejamkan mata kembali memberi tubuhnya untuk beristirahat lebih lama. Semenjak ada manajer baru di butik, kini pekerjaan Gabbie jadi benar-benar lengang. Dia sudah semi-pengangguran dari kemarin. Walaupun penghasilannya akan berkurang, namun tubuhnya yang terpenting sekarang.

Ponselnya berbunyi kembali, bukan dering alarm kali ini melainkan dering panggilan masuk ke ponselnya. Tiga kali panggilan tak diangkat oleh Gabbie. Dia pikir Nadi yang akan datang seperti biasa mengerjakan gambar di sini. Namun Nadi biasanya jarang menelepon dan langsung mengetok pintu. Gabbie dengan mata yang mengerjap langsung menerima panggilan itu.

"Bitch! Why are you tying my hands?" Ujar Alen sedikit berteriak menyadarkan Gabbie dari kantuknya. Dia langsung terduduk, kemudian dia bangun dengan buru-buru membuka pintu rahasia, dan turun tangga dengan cepat. Dia bisa melihat Alen yang terjongkok sedang tangannya terikat. Ponselnya tergeletak di lantai, asumsi Gabbie dia menggunakan ponselnya dengan jari kakinya.

"Sorry sorry, gue lupa." Gabbie meminta maaf sambil melepaskan ikatan di tangan Alen.

"Jangan kemana-mana!" Seru Alen sambil berlari.

Alen segera ke kamar mandi setelah tangannya terbebas. Sedang Gabbie langsung naik kembali karena takut akan reaksi Alen. Dia buru-buru mandi dan pergi ke butik, walaupun dia rasa di butik tak ada orang sepagi ini.

Alen ke luar kamar mandi merasa lega setelah buang air kecil dan memuntahkan isi perutnya. Selagi dia membuat teh hangat, Alen menelepon Gabbie. Panggilan tak diangkat olehnya, padahal Alen ingin bertanya apa yang terjadi semalam. Akhirnya Alen mengirimkan pesan ke Gabbie walaupun tetap tidak ada balasan.

Dirinya tiba-tiba teringat sesuatu, bukan kejadian tadi malam melainkan sesuatu yang mengalihkan pandangannya; yakni tanda kemerahan di leher Gabbie saat dia membuka ikatan tangannya.

Alen menarik rambutnya sedikit frustasi, dia selalu bisa mengendalikan rasa mabuknya hanya sebatas ciuman kemudian dia menyerahkan semuanya ke Louis. Setelah mencium sang wanita biasanya dia menyuruh Louis untuk bilang ke para wanita, bahwa Louis adalah pacarnya, lalu Alen digampar, dan selesai, dirinya akan sadar dari mabuk.

"Jangan bilang itu kissmark." Racaunya pada dirinya sendiri.

"Ugh stupid dumbass." Makinya lagi.

Alen mengambil ponselnya dan menelepon Louis. Namun tak diangkat teleponnya. Tentu saja tidak diangkat karena perbedaan waktu lima jam, berarti di sana sedang jam dua pagi kalau di sini jam tujuh pagi.

Alen mengambil laptopnya, dia akan mengerjakan laporan sembari mengingat apa yang terjadi semalam. Sedang Gabbie juga sama, dirinya melipir ke Kafe Raja sembari mengelap mesin kopi satu persatu.

"Lo mengundurkan diri atau dipecat?" Tanya Raja sambil membersihkan setiap tempat dan meja.

"Keduanya atau gue part-time aja di kafe lo?" Tanya Gabbie. Raja tertawa atas candaan Gabbie yang sedari tadi membantunya.

"Ya, boleh, tapi upahnya lebih kecil dari lo nyoret-nyoret ipad lo itu." Ujarnya jujur.

"Ya I know, maybe I'll happier when I see my passionate boss, owner, barista, and chef." Jelasnya membuat Raja tertawa dan tersipu atas sanjungan Gabbie.

"Haha bisa aja. Gue tinggal ke dalem gapapa ya? Kalo mesinnya udah nyala buat kopi sendiri aja gapapa." Ujar Raja dibalas anggukkan kepala oleh Gabbie. Gabbie akhirnya sendiri lagi.

Dia bercermin melalui pantulan dari mesin yang tadi di-lap nya mengkilat. Leher yang tadi ada bercak merah itu sudah dia tutup concealer agar tak terlihat.

SESALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang