Lima Belas

359 44 3
                                    

Content warning a l c o h o l k i s s s
1 8 + b l o o d

Sepertinya memang tidak wajar merasakan panas kala malam dingin bersamaan dengan pendingin ruangan yang menyala. Namun nyatanya Gabbie merasakan panas yang menjalar di tubuhnya. Mungkin akibat minuman alkohol, tapi seingatnya dia hanya meminum satu gelas lebih dikit karena sisanya non-alkohol. Atau mungkin karena sentuhan Alen yang menjalar memberikan sensasi sengatan saat kulit mereka bersentuhan. Padahal ini hanya perkara Alen mengganti bajunya.

Gabbie sudah menahan malu sedari tadi bersikap seperti anak kecil di hadapan Alen; walaupun Gabbie yakin Alen menganggap Gabbie sedang mabuk. Namun tak disangka Alen membantunya mengganti pakaian adalah tindakan yang tak pernah Gabbie banyangkan. Alen tidak sepeduli itu kecuali menyangkut nyawanya. Dia benar-benar ingin membuat Gabbie agar percaya kepadanya.

Saat gaun mini hitam itu ditanggalkan, Gabbie merasa udara menggerogotinya dingin. Terlalu lama waktu yang diulur hanya untuk mengganti pakaian, apa yang Alen lakukan saat ini? Gabbie benar-benar ingin membuka matanya dan meninjunya karena bersikap tak senonoh menatap tubuhnya lama. Walaupun terpejam, tapi Gabbie dapat merasakannya udara yang dingin atau buku jemari Alen yang membuka pakaiannya.

Setelah beberapa saat, Gabbie mendapati sentuhan kembali di bagian perutnya. Gabbie rasanya ingin gila karena Alen menyetuh dirinya. Lebih gila lagi karena Gabbie teringat perbincangan mereka saat Alen menjelaskan dirinya dengan Louis hanyalah seorang sahabat dan foto ciuman itu tak sengaja terambil kamera saat mereka melakukan sebuah permainan.

Jemarinya kemudian berpindah perlahan membuat Gabbie ingin meremat selimut. Tubuhnya reflek bergetar saat jemari itu mengusap bagian bekas jahitan di bawah perut.

'Sialan Alen!' makinya dalam hati. Gabbie masih tak ingin ketahuan. Atau dia harus berpura-pura mengingau agar Alen tak curiga?

"Ibu sakit." Racau Gabbie pelan. Dia berdoa semoga Alen percaya. Setelahnya, Alen menarik jemarinya kembali dan mulai mengenakan piyama ke Gabbie.

Gabbie merasa lega, namun malu juga. Dia takut Alen tahu wajahnya tengah merah padam. Kalau dipikir-pikir laki-laki yang melihat bekas lukanya adalah Najim dan Alen. Gabbie tak pernah sekalipun menunjukkan lukanya kepada siapapun, dia enggan menjawab pertanyaan bagaimana dia bisa mendapati luka itu, bagaimana kejadiannya, atau malas menceritakan dan menjelaskannya. Sebab itu Gabbie selalu mengenakan pakaian high waist hingga pusarnya, sekali pun itu adalah bikini. Harusnya Gabbie tadi memakai celana tambahan agar luka itu tertutup.

"Lo cantik banget." Ujar Alen membuat Gabbie terbangun.

"Sial! kenapa mimpiin Alen." Makinya.

Gabbie masih terduduk dengan memeluk kedua kakinya. Gara-gara Alen, dia jadi mimpi seperti itu. Seharusnya dia juga berpura-pura saja kalau Gabbie mabuk agar  rasa malunya berkurang.

Suara kenop pintu terbuka membuat Gabbie buru-buru menaruh kepalanya di lutut; seolah tidur dalam posisi duduk.

Alen duduk di samping Gabbie sembari merapikan rambut yang turun menutupi wajahnya.

"Gue pamit ya." Bisik Alen pelan sambil mengusap kepala Gabbie. Suara decit kasur menandakan Alen sudah beranjak dari sisinya.

Kemudian hening, Gabbie pikir Alen sudah pergi dari hadapannya, namun tidak. Lelaki itu sedang berdiri menatapi Gabbie dengan helm hitam sontak membuat Gabbie berteriak dan terjungkal ke belakang. Sedang Alen tertawa melihat aksi Gabbie.

"Ih lo mah ngagetin!" Omel Gabbie.

"Lagian kenapa sih pake helm?" Tanya Gabbie.

Alih-alih menjawab, Alen hanya mengusak rambut itu berantakan.

SESALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang