prologue

768 89 13
                                    

Hara bukan penggemar alam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hara bukan penggemar alam. Menurutnya, alam itu wadahnya singgah kesuraman hidup yang sepatutnya ia hindari dari awal.

Hara juga tak suka hujan. Menurutnya, hujan hanya membawa sengsara, lara, dan membuang waktunya.

Sore hari jelas bukan waktu terindah untuk Hara menjejalkan kaki ke tanah kepunyaan alam nan ramai perihal benderang kehidupan, yang pula selalu siap dengan kilau membutakan mata.

Tak! Tak! Tak!

Barisan suara gemeretak menyebalkan terus menyambangi pendengaran Hara, mendorong gadis itu mendecakkan lidah tanpa mengurangi jumlah langkah dan tempo yang diambilnya.

Cukup beberapa saat bagi manik kecokelatan Hara menemukan warung kecil yang menjadi pusat destinasinya sampai rela meninggalkan pos jaga.

Melompat kecil, dihindarinya kubangan lumpur hingga kaki jenjang Hara sukses menumpu pada teras warung yang sedikit basah.

"Bu, kopi satu, ya." tutur Hara, tangannya sibuk melipat payung sementara hatinya masih gerah akibat lembab di sekujur kaki dan sandal jepitnya yang usang.

"Kayak biasa, mbak?"

Hara bergumam setuju, ia raih tisu yang sengaja diletakkan di atas etalase warung; memang khusus untuk pelancong dalam situasi darurat, seperti halnya Hara sekarang.

"Iya, tapi gulanya dikit aja. Saya nggak suka yang terlalu manis." pesan Hara seraya menarik kursi plastik sebagai alas duduk dan menunggu pesanan.

Sejurus kemudian, Hara rasakan eksistensi seseorang di sampingnya dan di hadapannya tersaji kopi hangat sang pujaan hati.

"Terima kasih, bu." senyum Hara yang disambut baik oleh wanita paruh baya pemilik warung.

Sayup-sayup, suara hujan kembali menginvasi bumantara dan rintik-rintik airnya masih terus menindas bentala.

Ah, betapa muak Hara dengar raungan langit.

Dihembus pelan udara dari hidungnya, Hara pilih melepas rompi tugas sesaat sembari menunggu hingga awang enggan lagi menangis.

Janggal merasakan waktu merangkak lamban dalam situasi menggetarkan hati ini, seolah tengah membanyol atas nasib menyedihkan Hara yang terjerembab di antara anyaman kayu dengan secangkir kopi semi pahit.

Tak mau ambil pusing, Hara memutuskan untuk membuka wadah gorengan di hadapannya — menarik sepotong tempe mendoan hangat dari sana.

Satu kunyahan.

Dua kunyahan.

Hara berhenti, menurunkan tempe dari depan bibirnya untuk memperhatikan hal menarik di luar warung.

Hawa • KittyzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang