Mista yang menganggur sambil memperhatikan sekitar — tentu saja, ia tetap memperhatikan kendati tak patroli — terkesiap seketika lihat Hara berlari.
Perempuan itu terlihat panik, seolah mendapat panggilan urgensi yang begitu mendesak sampai Hara harus berlari keluar gedung proyek. Hal tak lazim itu tentu menarik interes Mista karena ia biasa melihat Hara yang terkendali akan emosinya.
"Woy! Dikejar setan lo?" pekiknya lantang yang lantas membuat Hara sontak berbalik, menatap muka Mista yang sudah bangkit dari posisi sambil mengangkat pentung yang selalu di bertengger sekitarnya.
Anehnya, Hara justru diam — seolah, sengaja ia mematung pada posisinya untuk mentertawakan Mista yang terlihat bodoh berjaga-jaga dengan tongkat kebesarannya itu dalam diam.
Mista ikut berdiam. Tak lagi ada sunggingan senyum bodoh di bibirnya, kini berdiri tegap dan saling bertukar pandang dengan Hara yang terus membujur kaku bak patung ibu kota, terlihat linglung seperti biasanya.
"Hah?"
Nah, nah! Seharusnya, Mista memang tidak usah menggubris perempuan aneh seperti Hara sedari awal — Mista merasa dipermainkan.
Hidung Mista mengembang-kempis sesaat, menghantarkannya kembali bokongnya istirahat di atas kursi kayu yang terlihat kokoh dan baru di poles. Faktanya, kursi itu memang baru dipoles oleh kakek Mista sebagai bentuk hadiah setelah Mista dapat kerjaan usai menganggur cukup lama.
Mista menggeleng, dikibaskan tangannya pada Hara.
"Paham, paham." katanya.
Hara yang memperhatikan dari kejauhan kian membingung, apa-apaan Mista ini? Hara sama sekali belum buka mulut, apanya yang ia pahami?
"Apaan, sih?" tanyanya, kali ini rasa penasaran Hara jauh lebih besar daripada rasa malas bersosialisasi yang jelas membuat Mista semakin heran.
Mista menggeleng.
"Bukan. Nggak jadi. Lanjutin aja apalah kegiatan lo itu tadi."
Hara mengernyit, namun sedetik kemudian ia mengabulkan permintaan Mista untuk lenyap dari hadapan perempuan itu.
Mista semakin heran — sebenarnya, apa yang ada dalam pikiran Hara? Dasar, perempuan aneh.
●
Hara dengan segera menuruni motor, membayar biaya layanan pengantaran dirinya dari gedung proyek ke restoran sesuai yang dijanjikan Hawa.
"Jam lima sore ya, jangan lupa! Kamu tinggal masuk aja, tanya sama waitress-nya, meja atas nama Hawa Radjanti. Aku tunggu ya, Hara."
Adalah pesan yang terus Hara ingat dengan keras — karena memori ingatan Hara payah — dari percakapan telepon antara keduanya beberapa jam yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hawa • Kittyz
FanfictionIntuisinya selalu berlabuh pada sang Hawa, tanpa peduli sang empu pula seorang hawa. copyright: July 2023, written by applefalls.