"Kalau tak ada Ama, gimana hidupmu, Na? Masak untuk sendiri saja malas."
Ama, panggilan buat wanita yang di telapak kakinya ada surgaku. Padahal waktu kecil aku pernah nyari surga itu, tapi nggak ada. Ama nggak menjelaskan, katanya tanya Buya Ahmad, guru ngajiku dan anak-anak kompleks sini.
"Ama ikhlas nggak nih? Percuma Ana makan kalau Amanya terpaksa. Kata istrinya Mak Etek Ihsan, indak manjadi darah dagiang."
"Ha!" Kotak makanan itu sudah terbang ke mukaku, dipegang Ama dekat sekali ke hidung. Kalau hidungku mancung, mungkin bisa bolong kotaknya.
"Bang Aki mana?" Mak Etek Ihsan, suaminya Ama, kebingungan. Apalagi aku dan Ama yang sejak tadi ricuh di dapur.
"Kok Apa malah tanya Ana? Di kamar?"
Bang Aki salat Subuh di masjid dengan Apa. "Mungkin tidur lagi," sambungku berniat ke kamar anak sulungnya Pak Ihsan dan Buk Hasida.
"Itu kamu." Ama masih merepet.
Aku sudah tinggalkan kebiasaan itu semenjak sakit dua tahun yang lalu. Sesekali pernah ketiduran karena mata kadang nggak sudi jadi bestie.
"Nah! Bang Aki WA. Ana diantar Apa pagi ini. Abang ada panggilan mendadak." Aku membacakan isi pesan Bang Aki biar nggak dikira memanfaatkan suaminya Ibu Hasida.
"Pa, Ana berangkat dengan Apa."
Malah Ama yang menyahut, "Siapa lagi kalau bukan Abang, Apa, atau Ama? Suami belum ada."
Aku mencibir. Anaknya yang jomlo dan hidupnya saja begini, masih disuruh nikah. Mengurus diri sendiri saja butuh bantuan, gimana mau ngurus anak orang?
"Ma, salim." Aku tidak menyembunyikan rasa sebal waktu berpamitan.
"Apa masuk siang?" Apa yang punya kantor sendiri sih enak. Berangkat jam berapa saja, nggak ada yang komentar. Walaupun ada, ya nggak di depan Pak Ihsan juga. Bisa dipecat.
Apa mengantarku pakai Beat. Jarak sekolahan dari rumah nggak terlalu jauh. Naik mobil, bakalan telat. Pagi ini aku memang agak terlambat bangun karena ketiduran. Sudah kubilang, kadang mata enggan jadi bestie bangun pagi.
Apa mengulurkan tangannya tanpa membuka helm. Aku sambut dengan takzim. Biar buncit juga ayahku. Kami sudah tiba di lorong masuk utama. Nggak tanggung-tanggung ayahku ini nganter anaknya sampai depan gedung kantor. Kenapa nggak sekalian masuk? Dulu malahan antar sampai meja. Penyakitku bikin aku lemas, bahkan untuk berdiri agak lama aku langsung angkat tangan ke kamera. Sekarang udah agak mending.
"Balapan, yuk!" Nova, guru olahraga bercelana trening, merangkul bahuku.
Kalau sama Nova rasanya agak risih sebab dia perawakannya seperti laki-laki. Walau asetnya sama sepertiku. Nova memang pakai jilbab, tapi yang instan. Kalau di kantor tidak ada bos, dia lepas. Untung Nova konsisten di depan anak didik tetap dia pakai, bukan ngasih contoh nggak bener.
"Gendong Uni," selorohku mengulurkan tangan.
Nova malahan terkekeh. "Bercanda."
"Nggak lucu bercandanya." Aku mana bisa jalan cepat-cepat. Ibarat batere, aku hanya punya enam puluh persen padahal selalu di-charge.
"Masak apa?" tanya Nova memperlambat langkah untuk menyamaiku.
"Yang jelas bukan seleramu."
Nova menyengir. Basa-basinya kayak nggak ada yang lain. Makananku nggak bakalan yang aneh-aneh. Tiap hari bawa bekal, pasti ketemunya itu-itu lagi.
Tiba di ruangan kantor apa lagi yang kulakukan kalau bukan makan. Sejak sakit, Ama yang selalu memasakkan isi kotak nasiku. Waktu tinggal sendiri, mana tukang masak. Makanya, aku bisa kena asam lambung, karena malas makan. Sudah tua gini dapat hadiahnya. Ama jadi hobi ngomel karena ulahku sendiri. Mau gimana lagi, aku juga nggak pengin sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Bicarakan Baik-Baik
ChickLit~Anabiya Widyanti~ Bukan niat balas dendam. Perasaan ini emang sudah nggak bersisa. Mau dia jungkir balik minta kesempatan, nggak akan kuterima. Eh, sayangnya setinggi-tingginya tiang bendera, kalau dibuatnya pakai besi, bukan semen, goyang juga. Ka...