Azan Subuh sedang bergema ketika aku keluar kamar lengkap dengan jaket dan kaus kaki. Rumah pada jam ini kosong kecuali aku tentunya. Ama, Apa, dan anak bujangnya yang kriwil sudah ke masjid. Jangan tanya aku. Bukan karena palang merah makanya tinggal. Aku memang tidak pergi berjamaah.
Dompet dan ponsel sudah aman berada dalam saku jaket. Aku pun berjalan santai keluar pagar dan merasakan udara pagi menyentuh lembut muka. Satu-satunya kulit yang tidak tertutupi pakaian hanyalah wajah. Namun, aku masih merasa begitu dingin walau sudah pakai jilbab tebal, jaket, dan kaus kaki. Mungkin beberapa menit sebagai pembiasaan bagi tubuhku yang paling malas keluar jam segini. Tak masalah masih bisa ditahan.
Langkah kaki perlahan membawaku teramat jauh dari rumah. Aku mengakali pegal dengan memberikan istirahat beberapa menit saat capek betul. Akhirnya aku tiba di pasar pagi. Tempat seperti ini sangat kuhindari karena kepadatan manusianya. Setelah kupikirkan semalaman, aku mau belajar untuk menaklukkan kecemasan itu. Laju kaki mengarah ke belakang pasar tempat biasanya menjual tangkapan laut. Dari baunya saja sudah kecium. Gak usah terlalu banyak pilih karena aku yakin hasil laut di sini semuanya segar. Aku hanya mau udang. Kuminta dua kilo.
Dengan membawa sekantung udang, kupilih yang ukuran sedang saja, aku pulang dengan rasa puas. Aku akan memasaknya sesuai selera yang tentu saja tetap tidak boleh memasukkan cabai dan keluarganya. Tiba di rumah hari sudah cukup terang. Artinya aku menghabiskan banyak waktu di luar.
”Ana! Dari mana kamu, Dik?” seru Ama yang baru sadar anaknya tidak berada di kamar.
Aku mengangkat kantung belanjaan.
”Apa itu?” tanya Bu Hasida heran.
”Udang. Ana dari beli udang.”
Siapa pun yang melihat wajahku akan menebak aku sedang senang. Tidak begitu dengan Ama.
”Di mana kamu beli?”
Hampir saja aku berkata sebenarnya, dengan lincah lidahku berbohong, ”Etek-etek yang menjajakan ikan. Itu, Ma, yang bawa baskom besar di kepala. Dia lewat waktu Ana duduk di ayunan depan TK.”
”Duduk di sana ngapain di sana?”
Aku berjalan ke belakang sambil menjawab Ama, ”Olahraga.”
Ama menemaniku berdiri di depan kitchen set. Aku membersihkan udang, Ama mengambil air hendak direbus.
”Masaknya diapakan, Na?”
”Biasa, Ma. Tumis kecap. Apa lagi?”
Ama menyalakan kompor. Begitu panci aman di atasnya, Ama bergabung denganku menguliti si udang.
”Mandilah. Biar Ama teruskan.”
”Ana saja.”
Udang telah bersih karena memang jumlah ekornya tidak banyak. Aku mencucinya sampai bersih. Ama kembali memintaku meninggalkan dapurnya.
”Ana bisa.”
Aku membawa daun saledri, daun bawang, serta bawang-bawangan ke kitchen island guna kukerjakan di sana. Kakiku sudah amat pegal berdiri. Lagian bekas jalan tadi juga masih terasa capainya.
Ama menaruh wadah berisi air biar gak bolak-bolak ke keran katanya untuk membasuh bumbu masakanku. Menyebutnya masakanku menjadi kebahagiaan tersendiri.
”Gak terlambat, Na? Udah terang sekali di luar.” Ama mengarahkan wajahnya ke jendela.
Aku pun mengalah. Dengan berat hati meninggalkan udang-udangku
”Ana mandi dan bersiap. Tolong, Ma.” Aku melompat dari kursi.
”Au, bau apa nih?” Bang Aki menutup hidung, lalu dengan sengaja mengendus tubuhku.
![](https://img.wattpad.com/cover/337781658-288-k731695.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Bicarakan Baik-Baik
ChickLit~Anabiya Widyanti~ Bukan niat balas dendam. Perasaan ini emang sudah nggak bersisa. Mau dia jungkir balik minta kesempatan, nggak akan kuterima. Eh, sayangnya setinggi-tingginya tiang bendera, kalau dibuatnya pakai besi, bukan semen, goyang juga. Ka...