[06] Sebuah Kejutan

286 85 30
                                    

Setumpuk file murid baru teronggok secara mengenaskan di meja tata usaha. Aku sendiri duduk di kursi yang diperuntukkan bagi para guru kalau ke sini buat hahahihi. Namun, kali ini aku datang untuk mencari data. Aku terlanjur penasaran dengan status Fauzan. Jujur, siapa yang nggak akan bertanya-tanya setelah diajak mengobrol tentang masa lalu dan masa depan? Lalu menguak kebenaran kalau sebetulnya dia belum menikah. Siapa yang akan percaya? Orang anaknya sudah sebesar Qiosya. Hal ini membuatku ingin mencaritahu sendiri.

"Kok bisa ada Bapak di sini?"

"Bapak?" Fauzan yang duduk tanpa dipersilakan di bangkunya Milly mengerutkan alis. "Aku bapak?" Ia menunjuk dadanya.

"Aneh." Masa tidak paham? Dia orang tua murid yakali aku panggil om. Bapaklah.

Aku nggak ingin kegeeran, dia mengikuti atau dia mengatur pertemuan ini. Jadi, aku hanya menanggapi singkat. Hal yang menjadi inti masalahnya adalah aku pulang dengan apa?

Diperparah dengan turunnya hujan. Ah, sudahlah. Fauzan masih di tempatnya dan sama-sama diam. Jangan berharap aku yang akan pecicilan ke dia lagi, buka suara. Aku sibuk mengamati rintikan air turun menampar jendela kaca. Mobil-mobil di jalan menyipratkan air ke badan jalan. Untung jarang ada pejalan kaki di Padang yang akan menjadi korban cipratan. Eh, tapi itu menyenangkan. Pernah suatu kali aku melihat video dua manusia dengan isengnya menunggu mobil datang agar melintasi genangan air yang akan menghujani tubuh mereka. Beberapa mobil sengaja menghindari genangan tersebut, justru itu perbuatan baik terhadap pejalan kaki. Yang terakhir mungkin paham maksud dari dua manusia kurang bahagia ini dan memberikan apa yang mereka inginkan. Wajah dua orang itu terlihat amat bahagia setelah pakaian mereka basah. Tak lupa mengucapkan terima kasih dengan melambaikan tangan kepada mobil yang sudah berlalu. Sesuatu yang sederhana ternyata. Tanpa biaya. Bahkan aku yang menjadi penonton terharu. Apa mungkin kadar kebaperanku yang tinggi?

"Rotinya nanti dingin. Dimakan. Nggak baik kebanyakan melamun, Dik."

Oh iya. Aku memang merasa lapar lagi. Karena Milly mengajak makan, aku keluar rumah tanpa membawa nasi. Roti inilah penyelamatku dari rasa lapar.

"Mau minumnya apa?"

Aku memandang Fauzan dan meja. Dia benar lagi. Belum ada minuman.

"Uda! Aqua yang tidak dingin, ya." Aku mengacungkan jari telunjuk ke atas.

"Bisa nggak jangan duduk di sini juga? Tempat lain banyak yang kosong tuh," tunjukku ke meja dekat pintu masuk.

Fauzan menggeleng. "Nggak bisa, nggak mau."

Lelaki muda membawakan air mineral yang kuminta. Malah Fauzan yang bilang makasih.

"Terserah."

"Ada yang ingin Abang tanyakan ke Ana."

Fauzan mendapatkan atensiku kali ini. Pemilihan panggilan untuk dirinya yang dia gunakan membuatku merinding. Terdengar aneh. Aku nggak suka.

"Apaan sih? Bapak siapa sok kenal pake ngajak ngobrol segala?"

"Sudah ada yang datang ke rumah Ana?"

Fauzan kayaknya punya telinga cuma untuk gaya. Mata cuma buat pajangan. Memangnya tampangku sekarang kelihatan ingin diajak ngobrol?

"Belum kan? Da Aki memberikan bocoran sedikit."

Mau bilang jangan kepancing, tapi nggak bisa. Dia betulan lagi meledekku.

"Cuma Abang ingin mendengar dari mulut Ana juga. Kalaupun Ana sedang punya hubungan dengan seseorang, Abang akan lebih dulu daripada dia datang ke rumah Ana."

"Mau jemput sekolah lagi?" tanyaku kepancing juga akhirnya. "Tukang antar-jemputku banyak."

Fauzan terkekeh. Harusnya dia bisa lihat dari wajah nggak senangku dan berhenti bicara. Apakah ini karma?

Kita Bicarakan Baik-BaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang