Pagi tadi aku sangat lega karena Fauzan tidak datang. Pasti karena lamarannya kutolak.
"Mungkin Ana kaget, Kak. Sebaiknya kita langsung ke belakang. Makanannya sudah siap. Ayo ke ruang makan." Ama menjamu dua tamunya meski perasaan mereka mungkin merasa kecewa.
Baik Apa maupun Ama tidak menyerbuku apalagi mengomentari kenapa aku bersikap tidak sopan. Setelah makan bersama, aku langsung mengasingkan diri di kamar. Kudengar Fauzan dan ibunya masih bertahan sebentar dengan membicarakan hal-hal umum. Mungkin berupaya melupakan kejadian tak menyenangkan yang kuperbuat. Aku sangat yakin ketiadaan Fauzan pagi tadi berhubungan dengan yang semalam. Ternyata aku salah mengira. Fauzan benar-benar tak terduga.
"Mau apa lagi?"
Sekolah sudah sepi. Aku yang terakhir keluar dari ruangan guru. Siswa sudah dijemput orang tua wali. Kupikir Bang Aki-lah yang akan kulihat pertama kali setiba di lapangan parkir. Kebayang wajah kesalnya karena panggilannya tidak kurespon. Namun, aku tidak sampai memikirkan kalau sebenarnya Bang Aki menelepon untuk mengatakan bahwa dia tidak menjemput. Sebab kalau Bang Aki jemput, dia takkan diam saja di lapangan sendirian. Pasti menyusul ke ruangan guru atau tebar pesona ke perpustakaan. Kadang dia sampai lupa kalau ada kekasih yang harus dijaga perasaannya.
Sekarang aku baru menyadari kebodohanku yang tidak waspada. Fauzan tipe bapak-bapak adalah orang yang menggebu-gebu. Baru ketemu lagi, dia udah ke rumah untuk main dan ngajak ke sekolah. Langsung mengatakan akan menemui orang tuaku, bahkan sudah merebut hati Bang Aki. Mengajak jalan berdua dan besoknya ke rumah bersama ibunya. Gilanya, walau ditolak tetap datang lagi. Parah sekali.
"Menurut kamu?"
Orang aneh. Dia berdiri dari kap mobil. Lalu mengangkat ponsel ke depan.
"Ayo." Dan sekarang menggandeng bahkan menyatukan kelima jemarinya menarikku ke mobil.
"Apa-apaan ini?" Aku melihat sekitar yang sepi. Di jalan raya hanya mobil yang lewat. Tidak ada yang jalan kaki.
"Duduk."
"Aku akan pulang sendiri." Namun, Fauzan menghalangi di pintu. "Bisa minggir?"
"Enggak. Kamu tidak bisa ke mana-mana sendirian. Kalau kamu lari, mudah mendapatkan kamu lagi. Jadi, berhenti berpikir untuk pergi. Duduk yang cantik di bangku ini, Anabiya."
Apa yang dia ucapkan benar. Lari dan membuat keributan hanya akan membuat malu diri sendiri. Dalam beberapa detik aku berdiam diri, dia telah duduk belakang kemudi.
"Yaudah bawa aku pulang."
"Enggak. Kita harus bicara."
"Maumu apa lagi? Sudah jelas kan aku nggak mau sama kamu. Masih belum cukup terang bagi kamu kalimatnya? Nggak perlu bicara apa-apa lagi karena keputusanku sama."
"Sst. Kita bisa bicara baik-baik. Makan dulu, ya. Kamu pasti lapar."
Mobil mulai meninggalkan sekolahan.
"Terserah. Ngomong sana sendiri."
Terserah itu tidak disia-siakan oleh Fauzan. Aku melihat rumah minimalis satu lantai dengan cat putih gading. Rumah itu berpagar besi dicat hitam. Fauzan sendiri yang keluar untuk membuka gembok pagar. Masuk lagi ke mobil dan melajukan kendaraannya ke dalam.
"Rumah siapa?"
"Rumah kita."
Waktu kalimat itu terdengar, telapak tanganku juga secepat itu meluncur ke lengan Fauzan.
"Gak ada kita."
Fauzan tak tersenyum. Dia mengedik, memerintah agar aku keluar. Fauzan sudah menunggu di luar. Dia mengambil tas berisi makanan dari tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Bicarakan Baik-Baik
ChickLit~Anabiya Widyanti~ Bukan niat balas dendam. Perasaan ini emang sudah nggak bersisa. Mau dia jungkir balik minta kesempatan, nggak akan kuterima. Eh, sayangnya setinggi-tingginya tiang bendera, kalau dibuatnya pakai besi, bukan semen, goyang juga. Ka...