Hal yang bikin aku hampir terjengkang pagi ini saat akan keluar rumah adalah kehadiran tamu yang tidak diduga. Aku harus berpegangan pada punggung sofa supaya dapat tegak dengan benar. Sosok yang berdiri di depan pintu terbuka itu jelas Fauzan. Oca Qiosya di sebelah pria tinggi tegap itu juga tersenyum seperti bapaknya. Hei, tolong jelaskan ini nyata atau ilusi?
”Assalamualaikum,” ucap yang tinggi.
”Assalamualaikum, Bu Ana.” Yang itu putrinya.
Si Qiosya itu harus tengadah, terlihat kesusahan dengan jilbabnya yang terlalu maju sampai nyaris nutupin mata. Gemas deh. Sebagai guru kelasnya yang baik, langkah kakiku maju mendekati Qiosya. Gerakan refleksku menarik puncak jilbab Qiosya membuat bapaknya sedikit menyingkir. Qiosya pun melempar senyuman lebar setelah mukanya kelihatan lebih banyak.
”Wa'alaikumussalam. Qiosya ada perlu apa, Kak, cari Bu Ana?” tanyaku lembut.
”Kata Papa berangkatnya sama-sama aja.”
Akhirnya, mau tidak mau, aku mengalihkan perhatian ke papanya Qiosya.
”Gak perlu repot. Bu Ana diantar abangnya Bu Ana.”
Tunggu, itu barusan aku bicara dengan Qiosya, tapi mataku kenapa melotot ke papanya?
”Kata Papa arahnya sama. Sekalian lewat. Ayo, Bu! Udah mau jam tujuh!” Pemilik suara yang bertekanan tinggi sudah menarik tanganku.
”Siapa, Dik?” Ama dengan tas bekalku membuat tarikan Qiosya terhenti.
”Murid Ana. Bang Aki?” tanyaku karena memang belum melihat si rambut kriwil itu sejak dia pulang dari masjid.
”Kan sudah pergi. Abang ke Bukittinggi, kamu lupa?” Ama menyerahkan tas itu padaku. ”Namanya siapa, Cantik?”
”Qiosya, pakai kiu, Nte. Bu Ana ayo, berangkat.”
”Bu, Ana boleh berangkat dengan kami saja?”
Ama langsung mengangguk, ”Boleh. Boleh. Ada lagi, Dik? HP, dompet sudah di tas?” tanya Ama.
Aku memeriksanya. ”Air minum?” Ternyata sudah dalam tas makanan.
”Ama nggak bisa antar Ana?” Kenapa bertepatan dengan Pak Ihsan yang terserang diare coba? Kalau Bang Aki absen, Apa yang tugas, dan kalau Apa juga berhalangan, biasanya Ama yang gantiin mereka.
”Kalau nggak merepotkan, Bu Ana boleh berangkat dengan Qiosya dan papanya. Kasihan Apa ditinggal sendirian.” Ama seolah menyerahkan tugasnya kepada bapak dan anak itu.
”Kan nggak sampai tiga puluh menit juga,” keluhku dengan suara pelan biar cuma Ama yang dengar.
”Sudah hampir jam masuk,” celetuk Fauzan, melihat pergelangan tangan kiri.
”Bu Ana.” Qiosya terdengar merengek. Anak itu kayaknya takut terlambat.
”Ya, berangkat. Ma, Ana pergi.” Aku mencium tangan Ama.
Qiosya diperintah bapaknya melakukan hal yang sama, menyalimi tangan Ama. Eh, Fauzan juga melakukannya.
Aku duduk di bangku tengah dengan beragam bawaan. Nasi dan air minum yang tidak pernah tinggal. Hari ini Ama bahkan menambahkan pisang rebus, terlihat saat aku memeriksa botol air minum. Qiosya yang baru keluar TK saja tidak membawa bekal ke sekolah.
”Yang cepat, Pa.”
”Iya.”
Saat ini aku merasa lagi ada dalam gelembung. Suara-suara di luar terdengar samar. Tak mampu berpikir apa yang harus dilakukan karena tubuh tiba-tiba kaku. Sulit digerakkan. Jangankan untuk basa-basi menyapa Qiosya, menggerakkan kepala saja rasanya susah. Arah tatapku hanya tertuju ke Fauzan di depan sana yang sedang nyetir dengan santai. Bukankah anaknya suruh dia agar cepat?
![](https://img.wattpad.com/cover/337781658-288-k731695.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Bicarakan Baik-Baik
Literatura Feminina~Anabiya Widyanti~ Bukan niat balas dendam. Perasaan ini emang sudah nggak bersisa. Mau dia jungkir balik minta kesempatan, nggak akan kuterima. Eh, sayangnya setinggi-tingginya tiang bendera, kalau dibuatnya pakai besi, bukan semen, goyang juga. Ka...