Fauzan Alfajar itu memang semakin ganteng. Namun, Rizky Nazar bukan idolaku lagi, walau nggak pernah menggeser layar ketika dia muncul di Reels. Artinya aku tidak langsung suka kepada Fauzan kayak dulu. Melihat Fauzan tidaklah sesenang dulu. Perasaanku biasa saja. Alih-alih suka aku malahan kesal, sebal, marah, dan pokoknya nggak suka aja.
Reaksi Fauzan waktu aku berlagak memberinya tinju cuma tersenyum. Itu maksudnya dia senyumin aku kan? Biadab emang suami orang. Dia muncul tanpa rasa bersalah. Kabar baiknya tadi malam aku nggak sampai begadang mengingat pertemuan kembali di toko roti.
Tahun-tahun kepergian Fauzan aku selalu diingatkan akan dirinya. Aku akhirnya pilih menyibukkan diri dengan organisasi dan kegiatan sosial. Melupakan sosok yang udah nempel begitu lengket di otak tidak semudah membalikkan tangan. Butuh usaha yang gigih. Hingga sampailah aku pada satu keputusan. Aku ingin hidup sendirian menikmati kebebasan. Takkan pernah membuat komitmen apa pun lagi dengan orang yang baru. Dari sana aku semakin mantap untuk menjemput kebebasanku. Fauzan tidak lagi muncul dalam ingatanku.
Karena masuk organisasi, aku memiliki relasi. Setamat kuliah, Safira menawarkanku posisi untuk mengajar di sebuah SD negeri di Jakarta. Harusnya itu milik Safira. Ternyata setelah berniat akan merantau, Safira malah menerima lamaran yang datang. Dia nggak jadi ambil posisi itu. Aku yang pergi.
Nggak mudah mendapatkan izin kedua orang tua ditambah perizinan sulit dari Bang Aki. Entah maunya apa semua orang hingga aku tidak dibolehkan kerja jauh. Aku pergi tanpa mengantongi restu. Ibarat kalian nggak direstuin oleh orang tua, tetap menikah, lama-lama restu itu turun juga kan. Pakai cara itu aku habiskan lima tahunku di Jakarta. Setahun terakhir aku harus mendapatkan balasannya.
Hidup bebas yang aku inginkan benar-benar tercapai. Bangun tidur mepet jam masuk, mandi kilat asalkan tidak telat. Makan sembarangan asalkan kenyang, bahkan nggak jarang menahan lapar karena kebanyakan mager nonton series Indonesia. Pulang sekolah nongkrong sendirian minum kopi biar nggak ngantuk untuk begadang malamnya. Berteman dengan semua orang sampai satpam di pengkolan juga aku deketin. Biar kontrakanku dijagain. Masih ada rasa takut tinggal sendirian sebagai anak gadis baik-baik.
Hingga suatu hari aku terkapar di lantai. Kalau bukan satpam yang ngetuk pintu membawa pesanan ketoprak milikku, aku mungkin menjadi penghuni sebuah makam. Beruntung aku mendapat pertolongan pertama. Nggak ada ceritanya merahasiakan keadaanku. Saat itu, aku telepon orang rumah. Merekalah yang mampu mengurusku yang untuk buang air kecil saja harus dibantu setelah menghabiskan dua malam di rumah sakit.
Sebulan lamanya Ama di kontrakan mengurusku. Bang Aki dan Apa mengantar Ama dan hanya tinggal beberapa hari. Selama ada Bang Aki yang ada aku diomelin setiap waktu.
”Kapok nggak? Ngeyel dibilangin orang tua. Apa gunanya pergi jauh-jauh kalau di tempat yang dekat juga bisa cari duit. Di pelosok negeri sana banyak juga SD. Apa yang kamu cari ke sini?” Salah satu omelan Bang Aki dan banyak yang lebih panjang dari itu.
Ama membujukku untuk pulang. Aku tetap nggak mau. Udah nyaman dengan teman kerja. Sampailah pendaftaran ujian P3K tahap 3. Ama memaksaku memilih sekolah di Padang. Menimbang keadaan, aku pun menyerah. Aku tetap tinggal setahun lamanya menunggu SK di sekolah yang baru terbit.
Bang Aki diberi mandat sebagai pengasuhku. Aku nggak melebihkan, dia memang seperti seorang baby sitter. Siapa yang buatkan aku makan kalau bukan Bang Aki? Siapa yang gendong aku ke kamar mandi kalau bukan Bang Aki? Siapa yang antar jemput bekerja kalau bukan Bang Aki? Dan siapa yang pergi belanja kalau bukan dia? Siapa yang membujukku minum obat kalau manjaku kumat? Menangis tanpa suara, siapa yang menghibur kalau bukan dia.
Perasaanku selama sakit dulu sangat bervariasi. Sudah mirip orang mau mati Magrib dan ingat akan dosa-dosanya. Sedih terus padahal nggak mikirin apa-apa. Hanya karena susah sisir rambut karena tanganku lemas, pecah sudah tangisanku. Bang Aki yang akhirnya sisirin rambutku. Dan segala kebutuhanku dipenuhi oleh Bang Aki. Di sanalah Bang Aki bekerja sambil ngomel-ngomel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Bicarakan Baik-Baik
ChickLit~Anabiya Widyanti~ Bukan niat balas dendam. Perasaan ini emang sudah nggak bersisa. Mau dia jungkir balik minta kesempatan, nggak akan kuterima. Eh, sayangnya setinggi-tingginya tiang bendera, kalau dibuatnya pakai besi, bukan semen, goyang juga. Ka...