TC. 12

185 65 8
                                    

Cita masih enggan membahas. Ia memalingkan wajah sesaat setelah Satya bertanya. Oke baiklah, Satya pun bungkam. Mereka masih duduk berdua di sana, matahari perlahan turun, cahaya langit berganti senja.

"Sat."

"Ya?"

"Nanti kalau jadi nikah, kita 'kan tidur satu kamar. Kamu mau langsung minta hak kamu ke aku at–" Cita mengangkat sebelah alisnya, Satya beranjak, berjalan pergi meninggalkan Cita yang ikut berjalan di belakangnya. "Lah, kok pergi, aku tanya, Satya!" ujar Cita berjalan tergesa karena langkah kaki Satya begitu cepat berjalan. "Kamu malu aku tanyain begitu?"

Satya masih tak menggubris, ia terus berjalan meninggalkan Cita yang mengejarnya. Cita memekik saat melihat kodok melompat ke arahnya yang muncul tiba-tiba dari semak-semak.

"Aaa!" Satya!" jerit Cita kemudian. Satya menoleh ke belakang. Cita berdiri gemetar diam ditempat. Lelaki itu mengambil ranting untuk mengusir kodok dengan ukuran besar. "Buruan usir!" jerit Cita yang wajahnya sudah seperti ingin menangis. "Cepettt ...," rengeknya. Satya mengusir kodok yang melompat ke arah Cita. "Satya!" teriak kencang Cita lalu ia berlari ke arah Satya, bersembunyi dibalik tubuh lelaki itu. Reflek ia peluk erat Satya sambil menyembunyikan wajahnya di punggung lelaki itu. "Usirin!" perintahnya.

"Udah." kata Satya yang berdiri kaku mematung.

"Beneran?" Jantung Cita berdegup kencang, bukan karena memeluk Satya, tapi karena kodok.

"Cit ... lepasin saya," katanya berbisik.

"Nggak mau. Beneran udah jauh kodoknya?" Cita mendusal di punggung Satya. Lelaki itu memejamkan mata, keringat dingin muncul di keningnya, ia kini yang berubah menjadi gemetar.

"Cita, saya gemetaran ini," katanya tak bisa menahan groginya saat dipeluk erat Cita.

"Hah!" Cita melepaskan pelukan, Satya menatapnya dengan wajah memelas.

"Ma-af," cicit Cita tapi kemudian ia tersenyum. "Kamu malu, ya?" godanya sambil mengedip-ngedipkan mata. Satya melirik sebal, juga mendengkus.

"Dosa peluk-peluk padahal belum sah!" dumal Satya. Ia berjalan meninggalkan Cita yang berjalan di belakangnya.

"Hitung-hitung latihan, Mas ... Satyaaa ...." Cita betah sekali menggoda Satya. Tak tau saja Satya mau pingsan rasanya. Kekakuan sikap Satya yang tak terbiasa berada diantara perempuan, apalagi kini akan menikah, rasanya tak karuan. Panas dingin. Dulu bahkan, saat ia bersama Shila, tak mau ia jalan berdua sekedar makan siang atau ke mal. Satya selalu memberi alasan supaya pergi ramai-ramai atau tidak sama sekali.

***

"Kamu yakin, Brar?" Satya cukup terkejut dengan permintaan Abrar.

"Yakin, Mas. Sebentar lagi lulus, langsung mondok aja di tempat Mas Satya dulu. Supaya Bapak nggak ketemu Abrar." Terlihat jelas remaja itu sendu, ia tidak diterima keberadaannya oleh bapak. Satya juga tidak bisa menyalahkan bapak, rasa sakit hati pasti sudah mengakar namun, Satya memang sudah bilang ke bapak jika memang tidak suka dengan Abrar, jangan mengabaikan terus, apalagi ditambah mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati. Abrar juga tidak ingin berada di posisi sekarang jika bisa memilih, tapi takdir sudah ditetapkan Allah, mau apa lagi.

"Mas nanti daftarkan kamu ke sana, Mas bilang ke Kyai di sana."

Abrar mengangguk. "Mas."

"Opo," sahut Satya.

"Maafin Abrar repotin Mas Satya dari kecil. Kadang suka bandel dan ngeyel. Abrar lakuin itu sebenarnya cuma pingin Bapak perhatian nggak sama Abrar, ternyata sama sekali nggak. Masih sama." Kepala Abrar tertunduk. Remaja tampan itu tak tau harus melakukan apa lagi sehingga bapak mau menoleh ke arahnya, semua usaha nyatanya sia-sia.

Takbir Cinta ✔ (OPEN PO!) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang