TC 2

199 65 4
                                    

🌠🌠🌠

"Adik?" Cita masih tak paham.

"Iya. Dia adik bungsu saya. Sebagai Kakak, saya minta maaf sudah membuat Shifa jadi sedih. Adik saya, Abrar maksudnya, dia memang ceplas ceplos orangnya, jadi--"

"Pak Satya membenarkan kelakuan Abrar karena Adik sendiri dan nyalahin keponakan saya?!"

Satya menggelengkan kepala. "Saya sudah tegur Abrar dan minta maaf ke Shifa, tapi remaja seusiasnya memang sedang labil dan egonya begitu tinggi jadi saya mewakili Abrar untuk--"

Pintu terbuka, dua remaja cowok masuk dengan cepat.

"Pak, Abrar, ribut sama gengnya Shifa!" pekik salah satunya. Satya dan Cita buru-buru beranjak, mereka berjalan ke arah tempat kejadian perkara. Keributan seperti apa yang terjadi? Cita bisa-bisa semaput kalau sampai hal buruk menimpa keponakannya.

Dari kejauhan sudah tampak kerumunan anak kelas dua dan tiga. Bahkan sampai mengganggu jam pelajaran.

"Apa lo! Lo pikir lo ganteng! Heh Abrar dongdong! Kalau lo nggak suka sama Shifa nggak sampai lo hina-hina! Apalagi sampai lo pasang di mading! Itu udah--"

Cita berdiri di depan Abrar. "Jadi ini anaknya. Yang hina keponakan saya. Dibilang jelek dan bukan seleranya. Kegantengan amat kamu jadi anak ABG. Heh! Sini, berhadapan sama Cita. Tantenya Shifa!" Cita berkacak pinggang. Abrar panik, ia melihat Satya menghela napas saking tak habis pikir dengan kelakuan adiknya.

"Bang!" teriak Abrar lalu berdiri di dekat Satya.

"Cemen! Beraninya berlindung di ketek Abang!" hina Cita. Shifa memeluk Cita, menangis sambil membawa tas di pundak.

"Pindah sekolah Tante ... pindah ...," isak Shifa. Cita membalas pelukan. Ia melirik sinis ke Abrar juga Satya.

"Nggak ada pindah-pindah. Shifa cantik, kata siapa jelek. Tenang, ya, jangan lemah jadi perempuan." Cita menangkup wajah Shifa yang tampak tertekan dengan ledekan Abrar.

"Heh Abrar! Jangan mentang-mentang Kakak kamu guru di sini bisa seenaknya, ya! Jangan bikin malu nama baik sekolah cuma karena mulut kamu." Cita melihat wali kelas Shifa, ia meminta ikut masuk ke kelas untuk menenangkan Shifa juga bicara dengan wali kelasnya.

Suara bisikan para murid terdengar Cita. Ia dibilang galak dan judes. Cita tersenyum tipis, ia senang dianggap seperti itu, jangan sampai meremehkan seorang Cita.

Siapa, sih, yang tidak sedih saat dihina atau ledek apalagi dengan gebetan sendiri. Shifa harus menguatkan mental dan ia akan dapatkan dari Cita.

"Tante di kantin, ya, nanti ikut rapat, kok. Shifa harus belajar, bukannya mau ikut olimpiade debat? Tante yang dampingi, ya. Kuat Shifa, okey?" pamit Cita. Ia mencium kening keponakannya lalu berjalan keluar kelas.

Shifa menghapus air matanya, ketiga sahabatnya justru berkomentar pengen punya tante seperti Cita. Keren katanya.

Cita berjalan ke arah kantin sambil menghubungi kakak kandungnya, ia juga harus laporan setiap terjadi apa-apa dengan Shifa dan Gatan. Tetapi telepon tidak dijawab.

Jam masih menunjukkan diangka sembilan, rapat masih satu jam lagi. Setelah memesan es kopi, ia izin sebentar ke mushola sekolah, pesanan es kopinya supaya disimpan penjual di kantin.

Takbir Cinta ✔ (OPEN PO!) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang