TC. 7

176 64 2
                                    

🌠🌠🌠

"Aku–" Cita tampak bingung. Siapa juga yang tidak seperti itu. Ini urusannya pernikahan, bukan satu hal yang dijadikan ajang main-main. "Gimana kalau kita berteman dekat dulu? Tawarn menarik, bukan?" Sumringah Cita dengan idenya sendiri.

Satya menggelengkan kepala. "Saya nggak pacaran."

Oh, oke, Cita sepertinya memang harus mencari tau tentang Satya lebih dulu walau tidak perlu mereka sampai harus berpacaran.

"Kasih gue waktu untuk yakin dengan ajakan lo ... mmm ... menikah." Cita sedikit berbisik, takut kedua keponakannya mendengar. Pintu terbuka, Shifa keluar sambil menatap bingung ke guru dan tantenya.

"Pak Satya ngapelin Tante saya?" tembak Shifa yang memakai mukena, ia sepertinya baru selesai salat Isya.

"Nggak. Tetapi sa–"

"Pak Satya mau bahas acara ke Jogja sama Tante, Fa. Masuk sana, udah dimakan makanannya?" sela Cita takut Shifa paham dengan situasi yang terjadi. Keponakannya itu menatap heran ke Cita.

"Tante ... sembab? Habis nangis?!" pekik Shifa. Duh! Anak remaja sok tau, tapi benar, sih, Cita tak mungkin menjelaskan. Ia hanya bilang jika sedang kangen orang tua, jadi sedih. Shifa mengangguk. Gadis itu masuk ke dalam rumah, menutup pintu, seketika membuat hati Cita tenang.

"Muka gue kelihatan banget sembabnya, Sat?" Cita mengarahkan wajahnya menghadap Satya.

"Udah tenang kamu? Kalau gitu saya pulang. Baiknya kalau panik lagi, istighfar yang banyak. Satu lagi. Besok kalau ngajar, coba jangan pakai kemeja yang membentuk tubuh kamu, walau kelihatan longgar tapi bagi saya masih terlihat body kamu, itu nggak baik. Assalamualaikum." Satya berjalan begitu saja meninggalkan Cita di teras rumah. Lagi, ia tertampar dengan kata-kata Satya.

"Mentang-mentang lulusan pesantren, nyindirnya bisa banget. Terlalu halus sampai gue ngerasa," gumam Cita. Ia menatap kepergian Satya yang berjalan kaki hingga jalanan utama dekat pos satpam, di sana banyak tukang ojek komplek mangkal. Saat Cita membuka pintu, ia terkejut dengan tatapan dua keponakannya.

"Aduh kaget! Kalian ngapain?!" cita berjalan masuk lalu menutup pintu, tak lupa segera menguncinya.

"Jujur. Tante lagi didekati Pak Satya, ya?" Gatan yang kali ini bersuara. Cita diam. "Tante lupa, kalau Abrar bikin Mbak Shifa bermasalah dan mau minta pindah sekolah?" lanjutnya. Cita menghela napas, ia mengajak dua keponakannya duduk di meja makan.

"Tante nggak dideketin Pak Satya, Tante cuma lagi ada urusan sama dia. Lalu, tentang masalah Mbak Shifa dan Abrar, yaudah, lah, ya ... itu masalah cinta monyet anak SMP, nggak perlu dipusingin."

Shifa tersenyum. "Nggak apa-apa, Tante, kalau lagi didekati Pak Satya. Dia itu terkenal jutek, dingin dan nggak ada cewek yang mau dekati atau didekati dia. Kalau sampai kejadian begini, berarti dia lagi kejar Tante Cita. Shifa jadi bisa balas dendam sama Abrar. Kalau Tante nikah sama Pak Satya, Shifa yakin pasti ada rahasia Abrar yang teman-teman di sekolah nggak tau."

Cita berdecih, "dendam itu doa. Nggak boleh. Biarin aja orang lain mau jahatin kita, kita nggak usah balas, biar Allah yang balas. Allah maha tau, 'kan."

"Betul. Allah maha tau isi hati Tante juga. Pak Satya ganteng dan alim, kurang apa lagi, Tanteku," ledek Shifa. Ia beranjak, lalu berjalan ke kamarnya untuk meletakkan mukena yang baru dilepas.

"Sok tau kamu, Mbak!" teriak Cita.

"Aku tau, lah ...! Pak Satya itu pernah tanya ke Cita, tentang Tante, kok."

"Hah! Tanya apaan!" Cita beranjak, berjalan ke kamar Shifa yang masih melilpat muena dengan rapi di atas kasur.

"Cuma tanya, 'Shifa, Tante kamu galak banget ya, suka marah-marah di rumah? Kamu dan Gatan, nggak apa-apa?' gitu doang." Shifa kembali berjalan keluar kamar setelah selesai melipat. Cita menganga, bisa-bisanya Satya berkomentar seperti itu. Belum tau dia berhadapan dengan siapa.

Takbir Cinta ✔ (OPEN PO!) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang