"Ta, nggak lagi bercandain Kakak, 'kan?!" tegas kakak perempuannya saat Cita sedang melakukan panggilan video.
"Ya, enggak, lah, Kak. Masa urusan ginian aku main-main. Gimana, dong ...!" Cita menyembunyikan wajah di atas meja belajar. Rambut panjangnya bahkan ikut menutupi wajah cantiknya.
"Ganteng nggak dia, orang mana, umurnya berapa?" cecar kakaknya.
"Ganteng relatif, selera orang beda-beda. Orang jawa, umurnya berapa, ya, kayaknya tiga tahun diatasku."
"Kok kayaknya. Gimana, sih! Kamu pastiin, dong, Ta."
"Ye ... Kakak gimana. Kita berdua tuh, ya, belum sempet ngobrolin tentang diri masing-masing. Masih ambigu tau, nggak."
"Makanya obrolin. Kayak gitu dia mau nikahin kamu dan kamu minta ketemu orang tuanya. Kalian berdua tuh, kenapa? Mendadak kenapa dia lamar kamu. Itu lho, yang bikin aku bingung."
Cita pun menceritakan kejadian saat itu. Kakaknya terkejut bahkan hingga terlihat panik. "Tapi kamu nggak apa-apa, 'kan, Ta? Obatnya diminum, udah?"
"Nggak aku minum. Sama Satya dikasih dengar ngaji surat apa ya, lupa ... terus disuruh istighfar banyak-banyak, ya ... hampir setengah jam baru deh aku tenang."
Senyum merekah di bibir kakaknya. "Kenapa senyum-senyum," tanya Cita penasaran.
"Berarti emang itu dia, jodoh kamu, Ta. Laki-laki itu, harus bisa menenangkan hati wanita. Gini, deh, besok malam ajak ke rumah, kita video call lagi, aku harus bilang ke Papanya anak-anak, gimana juga dia harus tau Satya kayak apa. Cowok yang nekat lamar Adik iparnya buru-buru. Udah dulu, ya, aku harus kerja lagi. Peluk sayang untuk anak-anak, ya, Ta."
"Oke, Kak. Bye." Cita melambaikan tangan ke layar laptop, lalu ia matikan sambungan panggilan video. Kedua tangannya mengusak rambut, jam sudah menunjukkan angka delapan malam. Tadi, di grup guru-guru sudah Satya beritahu jika operasi Abrar lancar dan remaja itu sudah kembali ke ruang perawatan.
Pintu kamar Cita diketuk. Ia menoleh ke belakang. "Tan," sapa Gatan.
"Hm, apa, Dek?" Cita memutar tubuh masih sambil duduk di atas kursi.
"Ajarin bahasa Inggris, ada PR bikin cerita."
"Oke, sini, duduk. Tante kasih tau." Cita meminta Gatan duduk di meja kerja yang ada di kamarnya dengan menyeret kursi meja rias. Cita telaten soal mengajarkan dua keponakannya, entahlah, sepertinya jiwa mendidik perlahan muncul dari dirinya.
"Tante."
"Hm?"
"Mau nikah sama Pak Satya, ya?" celetuk Gatan.
"Kalau iya, kamu setuju?" lirik Cita. Gatan segera mengacungkan ibu jari.
"Banget!" lanjutnya.
"Eh ... kok gitu?!" Cita duduk tegak.
"Ngajinya pinter, orangnya sabar, baik, perhatian sama anak-anak. Kadang kalau di SD ada guru ngaji nggak masuk, Pak Satya yang gantiin."
"Nggak sinis atau galak?" Cita terkejut mendengar cerita Gatan.
"Nggak. Asli baik, Tan. Keren pokoknya."
Oke, satu lagi pendukung Satya menikahi dirinya. Artinya, Cita bingung memberi alasan apa jika menolak, lagi pula, ia harus menyelamatkan diri dari Hans. Mau sampai kapan bayang-bayang buruk selalu mengejarnya.
***
Jam istirahat makan siang keesokan harinya, Cita gunakan untuk bertandang ke rumah sakit, ia penasaran juga dengan kondisi Abrar dan sekaligus mau memberi tau jika Satya diajak bicara dengan kakak-kakaknya Cita. Tak lupa Cita membawa buah tangan, biskuit dan es kopi untuk Satya. Baru saja Cita hendak mendorong pintu kamar, ia melihat Satya tengah bicara dengan seorang perempuan berhijab hitam, begitu cantik dengan kulit putih bersih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takbir Cinta ✔ (OPEN PO!)
Roman d'amourTanpa disengaja, Cita Anggira terpaksa menggantikan posisi mengurus, mengasuh dan menjadi Ibu dari dua keponakannya karena kedua orang tua mereka tugas di negara lain. Kedua keponakannya tidak mau ikut pindah, hingga Cita mengambil alih semuanya de...