TC 13

183 71 6
                                    

Riuh heboh tentang kabar Satya dan Cita akan menikah, begitu ramai di ruang guru. Mereka semua heran, kok bisa tiba-tiba Cita dan Satya akan menjadi sepasang suami istri. Ledekan dari kepala sekolah dan beberapa guru-guru lainnya hanya bisa membuat Cita yang sedang duduk di mejanya tersenyum sambil salah tingkah. Pintu terbuka, Satya baru datang–sengaja telat karena ke KUA dulu daftar pernikahan mereka–langsung menjadi sasaran empuk para guru.

"Pak Satya, diem-diem langsung tembak targetnya. Bukan pacaran, langsung dinikahi. Juara memang!" ujar Bu Apin yang tampak sumringah saat tau hal itu. Satya tersenyum malu-malu dan tetap saja kaku, ia berjalan ke meja Cita, menyerahkan selembar kertas ke hadapannya.

"Jumat pekan ini, artinya terhitung dengan hari ini, kita akan menikah lima hari lagi."

Cita mengangkat kepala. Menganga lebar. "Gila, kam–" Cita diam, ia melirik, beberapa guru menatapnya. Seketika Cita memasang senyuman lalu menyipitkan mata ke Satya. "Kenapa nggak besok aja sekalian?" geram Cita tertahan. Satya tersenyum sambil berdiri mencondongkan tubuhnya ke hadapan Cita.

"Boleh. Penghulunya kosong jadwalnya," tantang Satya.

"Cie...! Yang mau nikah pandang-pandangan! Aduh gemessss!" pekik Bu Apin. Sorak sorai ledekan pun menggema di ruang guru, tubuh Cita merosot, ingin rasanya ia menyelam tenggelam di kertas ujian yang sedang ia periksa.

***

Tak banyak persiapan yang keduanya lakukan. Satya menyerahkan uang sebagai modal syukuran nanti ke Cita, disaksikan kedua keponakannya dan Abrar, mereka berada di rumah Cita.

"Maharnya, seperangkat alat solat dan satu set perhiasan total lima belas gram, sesuai kesepakatan kita. Nah, ini, dua puluh juta untuk kamu atur mau syukuran seperti apa. Modal saya memang nggak banyak nikahi kamu, Cita, tapi saya janji akan–"

"Kita nggak perlu ramaikan. Aku juga nggak ada saudara lain selain Kakakku. Mereka juga nggak bisa hadir, nunggu mau lebaran baru bisa pulang." Cita mendengkus.

"Yaudah, kamu pegang aja uangnya kalau gitu." Satya duduk bersandar di sofa tepat di hadapan Cita.

"Aku pesan prasmanan aja, deh, buat syukuran di sekolah bareng dewan guru dan kepsek, gimana? Sama pesan beberapa box makanan untuk dibagikan ke tetangga sama RT di sini," usul Cita.

"Setuju."

Abrar, Gatan dan Shifa hanya bisa menyimak, mereka tak bisa komentar apapun, cukup menyerap jika seseorang jika ingin menikah ada mahar dan lain-lainnya.

"Baju gimana? Kamu pakai apa?" Cita beralih membahas hal itu setelah ia dari dapur membawa kue yang sudah ditata di atas piring.

"Aku pakai setelan jas aja sama kemeja putih. Kamu?" tunjuk Satya dengan dagunya.

"Ini," tunjuk Cita ke layar ponsel miliknya. Satya terbelalak.

"Ganti, yang lain. Belahan dadanya ... kamu mau pamer!" ketus Satya. Cita diam, ia juga ya, terlalu rendah belahannya.

"Gamis ada, warna putih?" tukas Satya lagi. Cita menggeleng. "Yaudah pakai apa aja asal jangan yang berbahan tipis, ketat apalagi belahan dada kayak gitu. Auratmu akan jadi tanggung jawabku untuk tutupi. Aku pamit, mau siap-siap dagang, udah jam empat, kasihan karyawanku." Ia dan Abrar beranjak. Cita menganggul. Selepas kepergian Satya, Cita dipelototi dua keponakannya.

"Tante, dengerin kata Pak Satya, tuh, jangan pake baju kayak gituan. Pake hijab aja, Tante ... Pak Satya sholeh banget orangnya, ya ... walau kayak robot gitu, tapi Shifa sih, yakin, dia bakal jadi suami Tante Cita yang bucin akut nantinya." Shifa tertawa geli. Gatan manggut-manggut padahal tak paham maksud ucapan kakaknya. Cita terperangah dengan kalimat kedua krucil itu, tapi ya memang ada benarnya.

Takbir Cinta ✔ (OPEN PO!) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang