TC 15

276 70 16
                                    

Hari H tiba, rumah tak begitu ramai karena memang tidak ada sanak saudara. Tante Wati dan ibu tampak sudah bersiap, terdengar suaranya dari ruang tamu. Cita mematut diri di depan cermin meja rias. Ia mengatur napas, jelas apa yang akan ia dan Satya lakukan adalah perjanjian suci seumur hidup. Sejak kemarin, ia berusaha keras tidak minum obat penenang, bayang-bayang Hans masih terus ada di kepalanya dan itu membuatnya pusing juga mual namun, ia ingat saran Satya. Sejak semalam ia mendengarkan kajian tentang rumah tangga islami dan setelah tahajud, Cita menyempatkan dzikir hingga ia ketiduran. Hatinya menjadi lumayan tenang perlahan.

"Tante, udah si–" Shifa membungkam mulutnya dengan tangan. "Cantik bangettt...!" pekik Shifa.

"Nggak menor, Mbak?" Cita meringis.

"Ih, enggak. Tante cantik, Masyaa Allah Tanteku," pekik Shifa lalu mengabadikan dengan ponsel. Ia kirim ke mamanya yang memang menunggu kabar. Nanti saat akad nikah berlangsung, akan dilakukan panggilan video jadi Vira bisa hadir walau virtual.

"Ayo, Tante, udah ditunggu semuanya. Pak Satya sama Abrar malah udah di KUA," ujar Shifa yang segera menarik tangan Cita.

Tak hanya Shifa, Ibu, Bapak, Tante Wati dan Gatan begitu bahagia melihat Cita. Mereka lalu segera pergi ke KUA menggunakan taksi. Setibanya di KUA, Cita kaget karena ada kepala sekolah, Bu Apin dan tiga guru lainnya datang ke sana. Semua memekik senang melihat Cita.

"Bu Apin," cicit Cita.

"Mbak Cita ya ampunnn ...! Ibu terharu!" lirihnya. Cita tersenyum. Ia berjalan masuk ke dalam ruangan yang memang tempat akad nikah, Satya memunggungi Cita karena sedang bicara dengan penghulu.

"Pak Satya!" panggil Shifa. Satya menoleh ke belakang, ia diam mematung di tempat. Perlahan beranjak dari duduknya. Kedua bola mata Cita tampak bergerak ke sana kemari karena salah tingkah diperhatikan Satya seperti itu.

"Alhamdulillah," lirih Satya saat ia melihat Cita memakai gamis warna putih dan hijab putih yang ia belikan. Ukurannya pas, tidak kebesaran atau kekecilan.

"Apa lihat-lihat," bisik Cita ke Satya saat keduanya duduk bersanding. "Jangan ketawain, pasti aneh lihat aku berhijab, 'kan?" lanjutnya.

"Siapa bilang. Jangan nuduh kamu," balas Satya.

Cita dan Satya sama-sama mengatur napas. Keduanya bersiap melangsungkan pernikahan. Vira menangis saat melihat Satya mengucapkan ijab kabul dengan lancar. Terlihat dari layar ponsel yang diarahkan ke Cita yang juga menangis. Bukan, bukan karena senang menikah, tapi tidak adanya Vira membuat Cita sesenggukkan.

Satya tampak gugup saat memasangkan cincin kawin ke jari manis tangan kanan Cita, juga saat Cita mencium punggung tangannya. Kedua lutut Satya lemas, ia sempoyongan yang membuat bapak mendekat menahan tubuh Satya. Cita justru tergelak, melihat wajah suaminya pucat pasi. Satya mengatur napasnya lagi lalu keduanya tampak menjadi malu-malu saat Satya mencium kening Cita.

"Eaaa! Yang udah halal!" goda Shifa dan Gatan yang bersorak. Cita bersingut sementara Satya membuang pandangan.

Acara pindah ke sekolah, di sana dijadikan tempat syukuran sederhana. Makanan yang disajikan prasmanan membuat semua guru, pekerja kebersihan dan pengurus yayasan, bisa membaur makan siang bersama. Tidak ada pesta mewah juga alunan musik, semua sederhana.

"Mbak Cita fix berhijab, nih, jadinya?" ledek Bu Apin.

"Iya, Bu, pelan-pelan," jawab Cita. Satya yang sedang bicara dengan beberapa guru laki-laki hanya sesekali melirik ke Cita.

"Mbak Cita, Pak Satya, ini ... ada kado dari kita-kita," teriak guru olahraga sambil mendorong troli. Tumpukan kado tertata apik, Cita tertawa. Satya mendekat, ia tak enak hati, tapi tetap harus diterima.

Takbir Cinta ✔ (OPEN PO!) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang